anomali peta dan agresivitas manusia politik
Nusantara
Bagaimanapun
juga, karena rasa memiliki bangsa dan tanah air yang tak pernah pudar, maka
rakyat tak mau ambil pusing dengan watak dasar dan karakter pribadi para
manusia politik. Hati kecil wong cilik, yang notabene buta politik, acap hanya
bisa geleng kepala, tepuk jidat dan mengelus-elus dada sendiri. Sebagai penonton
pasif atas dagelan politik.
Balas
jasa, balas budi maupun rasa terima kasih penguasa, pemerintah yang sedang
eksis, penyelenggara dalam bentuk stigmaisasi. Secara acak, ada kelompok
masyarakat yang masuk kategori uneducated people. Diterapkan pada
pemilih berlatar belakang fanatisme pada goyang ndangdhut yang telah mendunia.
Manusia
yang kurang beruntung bagi penduduk yang katanya sebagai subyek pembangunan
nasional. Agar pemerintah sibuk dengan kinerja cabinet, maka ada cap khusus
dengan tulisan “permanent underclass” bagi rakyat yang karena status
sosial maupun lokasinya menjadi beban pembangunan.
Kita
simak “Strategi Pengurangan Ketimpangan Dalam RPJM 2015-2019:, Kemen
PPN/Bappenas, 2014. Mulai dengan menyimak : Gini rasio digunakan sebagai ukuran
kesenjangan/ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan antar tingkat
golongan pendapatan dalam suatu negara, yang merupakan hasil atau konsekuensi
dari perkembangan kehidupan yang dinamis dan kegiatan-kegiatan pembangunan yang
dilakukan secara simultan.
Peningkatan
Gini Rasio di Indonesia pada akhir-akhir ini bukan karena menurunnya pendapatan
masyarakat berpendapatan rendah dan kenaikan pendapatan masyarakat golongan
berpendapatan tinggi, tetapi karena peningkatan pendapatan masyarakat
berpendapatan tinggi lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan masyarakat
berpendapatan rendah.
Nyaris
kebablasan, rakyat yang hanya tahu siapa kepala desanya atau lurahnya. Malah lebih
akrab dengan tokoh masyarakat, pegiat lingkungan atau alim ulama. Atau ironis
binti mirisnya, mereka tidak kenal siapa sosok yang menjadi wakil rakyat di
DPRD kab maupun DPRD kota.
Rakyat
yang masih akrab, familier dan bersahabat dengan alam, tetap merasakan sejuknya
sila-sila Pancasila. Mungkin saja mereka tak hafal urutan Pancasila, apalagi
terkait dengan gambar atau lambangnya.
Manusia
politik dengan segala atribut kejiwaan partai, seolah pilih tanding. Tak gentar
menghadapi lawan politik. Siap libas sampai cindil abangnya.
Jakarta
sebagai ibukota NKRI membuat percontohan. Terbukti dengan bahwa Indeks Demokrasi
DKI Jakarta 2016 terburuk. Pelaksanaan pilkada membuat Indeks Demokrasi DKI
terburuk sejak 2009.
“Siapa
dulu dong dalangnya?” kata plesetan atas pariwara zaman Orde Baru.
Jadi,
. . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar