Halaman

Sabtu, 16 September 2017

anomali peta dan agresivitas manusia politik Nusantara



anomali peta dan agresivitas manusia politik Nusantara

Bagaimanapun juga, karena rasa memiliki bangsa dan tanah air yang tak pernah pudar, maka rakyat tak mau ambil pusing dengan watak dasar dan karakter pribadi para manusia politik. Hati kecil wong cilik, yang notabene buta politik, acap hanya bisa geleng kepala, tepuk jidat dan mengelus-elus dada sendiri. Sebagai penonton pasif atas dagelan politik.

Balas jasa, balas budi maupun rasa terima kasih penguasa, pemerintah yang sedang eksis, penyelenggara dalam bentuk stigmaisasi. Secara acak, ada kelompok masyarakat yang masuk kategori uneducated people. Diterapkan pada pemilih berlatar belakang fanatisme pada goyang ndangdhut yang telah mendunia.

Manusia yang kurang beruntung bagi penduduk yang katanya sebagai subyek pembangunan nasional. Agar pemerintah sibuk dengan kinerja cabinet, maka ada cap khusus dengan tulisan “permanent underclass” bagi rakyat yang karena status sosial maupun lokasinya menjadi beban pembangunan.

Kita simak “Strategi Pengurangan Ketimpangan Dalam RPJM 2015-2019:, Kemen PPN/Bappenas, 2014. Mulai dengan menyimak : Gini rasio digunakan sebagai ukuran kesenjangan/ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan antar tingkat golongan pendapatan dalam suatu negara, yang merupakan hasil atau konsekuensi dari perkembangan kehidupan yang dinamis dan kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan secara simultan.

Peningkatan Gini Rasio di Indonesia pada akhir-akhir ini bukan karena menurunnya pendapatan masyarakat berpendapatan rendah dan kenaikan pendapatan masyarakat golongan berpendapatan tinggi, tetapi karena peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan masyarakat berpendapatan rendah.

Nyaris kebablasan, rakyat yang hanya tahu siapa kepala desanya atau lurahnya. Malah lebih akrab dengan tokoh masyarakat, pegiat lingkungan atau alim ulama. Atau ironis binti mirisnya, mereka tidak kenal siapa sosok yang menjadi wakil rakyat di DPRD kab maupun DPRD kota.

Rakyat yang masih akrab, familier dan bersahabat dengan alam, tetap merasakan sejuknya sila-sila Pancasila. Mungkin saja mereka tak hafal urutan Pancasila, apalagi terkait dengan gambar atau lambangnya.

Manusia politik dengan segala atribut kejiwaan partai, seolah pilih tanding. Tak gentar menghadapi lawan politik. Siap libas sampai cindil abangnya.

Jakarta sebagai ibukota NKRI membuat percontohan. Terbukti dengan bahwa Indeks Demokrasi DKI Jakarta 2016 terburuk. Pelaksanaan pilkada membuat Indeks Demokrasi DKI terburuk sejak 2009.

“Siapa dulu dong dalangnya?” kata plesetan atas pariwara zaman Orde Baru.

Jadi, . . .  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar