generasi semu pewaris tongkat estafet kekuasaan
Efek domino gerakan reformasi yang meluncur,
menggelinding, bergulir bebas mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, ketika dengan
gemilang me-lengserkeprabon-kan bapak Pembangunan Nasional Suharto dari kursi
presiden RI kedua, semakin nyata.
Bayang-bayang sosok keluarga Cendana tak langsung
sirna, pudar, redup. Terlebih modus politik yang merupakan perpaduan, ramuan
kekuatan ipoleksosbudmil. Daya cengeram politik Golongan Karya sampai tingkat
pemerintahan paling bawah, tetap menyisakan nikmat kekuasaan secara konstitusional,
legal secara yuridis formal, serta sah murah meriah dan tidak berseberangan,
bertentangan, bertolak belakang dengan UUD NRI 1945 dan Pancasila.
Di periode 2014-2019 dimana, yang mana nyaris semua
aliran ideologi yang ada di dunia, bergerak bebas di Nusantara. NKRI menjadi
tabung reaksi, menjadi palagan coba-coba persaingan pasar bebas antar kebebasan
berideologi.
Pemain asing atau yang karena kelahiran di
Indonesia, turut menyemarakkan jalannya demokrasi. mereka sebagai korporasi
yang ahli mengelola konflik. Piawai dalam memperkeruh suasana dengan gerakan
aksi nyata menabur dan menebar fitnah dunia.
Putera-puteri terbaik partai politik, dininabobokan
dengan rayuan bahwa untuk merebut kekuasaan secara konstitusional bisa memakai
tangan dan kekuatan asing. Pokoknya dudu manis tinggal terima bersih. Namun barter
politik ini tak terlunasi walau harus jual negara.
Partai politik bukan sekedar kendaraan politik yang
pernah sukses mengantar presiden RI kedua sampai lebih dari 3 (tiga) dekade betah
duduk sebagai pengemban amanat rakyat liwat MPR/DPR.
Akhirnya, jelang akhir paruh periode 2014-2019,
semua merasa berhak ikut main di kancah pesta demokrasi 2019. Energi, emosi
bangsa tersedot sia-sia hanya untuk mensukseskan pilpres 2019 yang erentak
dengan pemilu legislatif.
Apakah rakyat akan diposisikan sebagai penonton
pasif. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar