Halaman

Sabtu, 09 September 2017

Kinerja Anggota DPR Tergantung Fasillitas dan Konektivitas



Kinerja Anggota DPR Tergantung Fasillitas dan Konektivitas

Dosa bawaan yang diwariskan oleh anggota DPR RI sejak pretasi reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, bukan semakin reda, surut, redup, susut. Malah membuka peluang dosa politik berbagai varian, versi. Semakin banyak partai politik, maka ibadah politik semakin menunjukkan jati diri sejatinya yaitu hanya mengejar sukses dunia, nikmat dunia.

Bantuan APBN bagi partai politik dihitung berdasarkan perolehan suara sah pada pemilu legislatif, semakin menjadikan partai politik sebagai industri ideologi.

Beban kerja ganda, berlapis dan tidak bisa diprediksi anggota DPR untuk membentuk undang-undang, menyusun anggaran dan melakukan pengawasan, tidak sekedar membutuhkan anggaran yang wajar, tetapi juga memerlukan berbagai dukungan.

Antar anggota dalam satu fraksi, satu komisi tidak serta merta terjadi sinerjitas. Kepentingan partai memang diutamakan. Tetapi jika urusan dapur rumah tangga terganggu akibat menjadi wakil rakyat, maka kebutuhan individu yang bicara.

Jika dapur keluarga stabil selama satu periode, maka anggota DPR bisa fokus, konsentrasi urus dapur negara. Analog, saat memikirkan kesejahteraan rakyat maka dirinya harus sejahtera terlebih dahulu.

Mana mungkin jika perut kosong, andai perut kosong serta kemungkinan otak kosong, dapat memenuhi kewajiban sebagai anggota DPR dengan benar dan baik.

Fasilitas tempat tinggal maupun tempat kerja tidak bisa memakai standar rumah dinas dan kantor kementerian dan institusi lainnya. Representasi sebagai wakil rakyat se-Indonesia harus nyata, terukur dan dinamis. Harus ada nilai lebih.

Kerja sama antar parlemen, katakan di tingkat ASEAN, semakin menambah peluang, kesempatan “ruang dan gerak usaha”. Dalih mengunjugi konstituen di dapil luar negeri memang masuk akal. Dalam praktiknya, terbentuk 2 (dua) model watak parlemen, yaitu sistem unikameral atau sistem bikameral.

Agaknya anggota DPR tidak ambil pusing dengan sistem kameralisme dalam parlem. Mau  Sistem Parlemen Satu Kamar (Unikameral); Sistem Parlemen Dua Kamar (Bikameral); Sistem Parlemen Tiga Kamar (Trikameral); maupun Sistem Parlemen Empat Kamar (Tentrakameral). Asal mereka mempunyai kamar kerja yang layak, lapang, luas sudah bisa menarik nafas lega.

 Kata ahlinya, Parlemen Indonesia disebut sebagai “tricameralisme deterministic” atau disebut juga dengan “trikameralisme setengah hati”. Tetapi secara fungsional inilah parlemen Indonesia menganut sistem “Bikameralisme setengah hati”, atau lebih menyentuh dibahasakan menganut “tricameralisme deterministic”.

Selain “kamar kerja” yang dengan standar khusus wakil rakyat nasional, maka masih dibutuhkan dukungan berupa “kunjungan kerja”. Barulah para wakil rakyat akan unjuk gigi. “Begitu saja koq repot”, celetuk presiden ke-4 RI.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar