Kinerja Anggota DPR Tergantung Fasillitas dan
Konektivitas
Dosa bawaan yang
diwariskan oleh anggota DPR RI sejak pretasi reformasi yang dimulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998, bukan semakin reda, surut, redup, susut. Malah membuka
peluang dosa politik berbagai varian, versi. Semakin banyak partai politik,
maka ibadah politik semakin menunjukkan jati diri sejatinya yaitu hanya
mengejar sukses dunia, nikmat dunia.
Bantuan APBN bagi partai
politik dihitung berdasarkan perolehan suara sah pada pemilu legislatif,
semakin menjadikan partai politik sebagai industri ideologi.
Beban kerja ganda,
berlapis dan tidak bisa diprediksi anggota DPR untuk membentuk undang-undang,
menyusun anggaran dan melakukan pengawasan, tidak sekedar membutuhkan anggaran
yang wajar, tetapi juga memerlukan berbagai dukungan.
Antar anggota dalam satu
fraksi, satu komisi tidak serta merta terjadi sinerjitas. Kepentingan partai
memang diutamakan. Tetapi jika urusan dapur rumah tangga terganggu akibat
menjadi wakil rakyat, maka kebutuhan individu yang bicara.
Jika dapur keluarga
stabil selama satu periode, maka anggota DPR bisa fokus, konsentrasi urus dapur
negara. Analog, saat memikirkan kesejahteraan rakyat maka dirinya harus
sejahtera terlebih dahulu.
Mana mungkin jika perut
kosong, andai perut kosong serta kemungkinan otak kosong, dapat memenuhi
kewajiban sebagai anggota DPR dengan benar dan baik.
Fasilitas tempat tinggal
maupun tempat kerja tidak bisa memakai standar rumah dinas dan kantor
kementerian dan institusi lainnya. Representasi sebagai wakil rakyat
se-Indonesia harus nyata, terukur dan dinamis. Harus ada nilai lebih.
Kerja sama antar
parlemen, katakan di tingkat ASEAN, semakin menambah peluang, kesempatan “ruang
dan gerak usaha”. Dalih mengunjugi konstituen di dapil luar negeri memang masuk
akal. Dalam praktiknya, terbentuk 2 (dua) model watak parlemen, yaitu sistem
unikameral atau sistem bikameral.
Agaknya anggota DPR
tidak ambil pusing dengan sistem kameralisme dalam parlem. Mau Sistem Parlemen Satu Kamar (Unikameral); Sistem
Parlemen Dua Kamar (Bikameral); Sistem Parlemen Tiga Kamar (Trikameral); maupun
Sistem Parlemen Empat Kamar (Tentrakameral). Asal mereka mempunyai kamar kerja
yang layak, lapang, luas sudah bisa menarik nafas lega.
Kata ahlinya, Parlemen Indonesia disebut sebagai
“tricameralisme deterministic” atau disebut juga dengan “trikameralisme
setengah hati”. Tetapi secara fungsional inilah parlemen Indonesia menganut
sistem “Bikameralisme setengah hati”, atau lebih menyentuh dibahasakan menganut
“tricameralisme deterministic”.
Selain “kamar kerja”
yang dengan standar khusus wakil rakyat nasional, maka masih dibutuhkan
dukungan berupa “kunjungan kerja”. Barulah para wakil rakyat akan unjuk gigi. “Begitu
saja koq repot”, celetuk presiden ke-4 RI. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar