memupuk pribadi dan karakter manusia politik
pancasilais
Kendaraan politik yang
benar dan baik, menjadikan presiden RI kedua, menang 6 kali berturur-turut
pemilu yang menghantarkannya tetap sebagai presiden.
Tetapi strategi pak
Harto, tidak bisa ditiru atau dimodifikasi oleh siapapun. Berita ringannya, Golkar
di era reformasi menyesuaikan diri menjadi Partai Golkar (PG). munculnya
ratusan partai politik pasca reformasi 21 Mei 1998 semakin membuktikan bahwa
banyak anak bangsa merasa berhak untuk tampil di barisan terdepan.
Karakter periode
membuktikan bahwa presiden ke-3, ke-4 dan ke-5 tidak bisa mentuntaskan
jabatannya sampai satu periode atau tenggang waktu atau tempo jangka waktu lima
tahun. Presiden RI ke-5 yang minat merasakan sebagai presiden satu periode,
menjajal keberuntungan di pilpres 2004 dan 2009. Modal utamanya adalah sebagai
anak ideologis, pewaris kekuasaan bapak pendiri bangsa. Salah satu proklamator.
Ditambah nilai jual sebagai incumbent, petahana, pejawat presiden.pasti
menang sesuai angan-angan di atas kertas. Sayang langkah gemulainya kalah
cerdas dengan langkah bekas pembantunya, pembantu presiden.
Politik coba-coba yang
digulirkan oleh para reformis, malah menjadi bola salju. Kondisi politik
terkondisikan ketika presiden RI ke-6 mampu sesuai UU yang masa jabatan
maksimum 2 periode. Bertutur-turut atau tidak, tidak jadi soal.
Ironis binti miris. Jika
Golkar semasa Orde Baru sebagai pabrik pejabat, penguasa, penyelenggara negara,
namun PG terjebak ambisi internal. Bahkan menyaring dan menjaring ketua umum
menjadi persoalan dan masalah mendasar.
Masalah yang muncul,
malah masalah sepele. Ternyata nyatanya jam terbang, rekam jejak, pengalaman
mengenyam asam pahit asin di industri, panggung, syahwat politik, bukan jaminan
sebuah parpol layak tanding, siap laga.
Soal rekrutmen,
pengkaderan atau ajang cari bakat politikus mulai klas kampong, tidak berjalan
sesuai skenario partai. Kebijakan ketua umum partai, pada partai dengan sistem
buka-tutup, terasa dominan. Terlebih jika sang ketua umum mempunyai hak prerogatif.
Sudah saatnya untuk
kembali ke Pancasila bagi para petarung politik. Banyak benar dan baiknya jika
kehidupan berpolitik dijadikan budaya nasional. Sehingga para kawanan partai
bisa mengacu pada UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Khususnya diawali dengan
menyimak apa itu Pemajuan Kebudayaan. Ternyata yang mana, di mana, daripada
Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan
ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui
Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.
Maksudnya, upaya Pemajuan
Kebudayaan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan
masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi,
dan berkepribadian dalam KebudaYaan
Melacak asal beberapa pasal
berikutnya, terdapat :
Pengamanan Objek Pemajuan Kebudayaan dilakukan untuk mencegah pihak asing tidak
melakukan klaim atas kekayaan intelektual Objek Pemajuan Kebudayaan.
Industri besar dan/ atau pihak asing yang akan melakukan Pemanfaatan Objek
Pemajuan Kebudayaan untuk kepentingan komersial wajib memiliki izin Pemanfaatan
Objek Pemajuan Kebudayaan dari Menteri.
Industri besar dan/atau pihak asing yang menyalahgunakan izin Pemanfaatan
Objek Pemajuan Kebudayaan sebagaimana dimaksud di atas dikenai sanksi
administratif.
Yang dimaksud dengan 'pihak asing' adalah warga negara asing, organisasi
asing, badan hukum asing, korporasi asing, atau negara asing.
Jadi, memang enak harus kembali ke
Pancasila, penuh dengan aturan main. Padalah manusia politik sejatinya adalah
manusia bebas, manusia denga hak asasi semau gue. Persetan dengan orang lain,
bukan urusannya.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar