Halaman

Minggu, 10 September 2017

memupuk pribadi dan karakter manusia politik pancasilais

memupuk pribadi dan karakter manusia politik pancasilais


Kendaraan politik yang benar dan baik, menjadikan presiden RI kedua, menang 6 kali berturur-turut pemilu yang menghantarkannya tetap sebagai presiden.

Tetapi strategi pak Harto, tidak bisa ditiru atau dimodifikasi oleh siapapun. Berita ringannya, Golkar di era reformasi menyesuaikan diri menjadi Partai Golkar (PG). munculnya ratusan partai politik pasca reformasi 21 Mei 1998 semakin membuktikan bahwa banyak anak bangsa merasa berhak untuk tampil di barisan terdepan.

Karakter periode membuktikan bahwa presiden ke-3, ke-4 dan ke-5 tidak bisa mentuntaskan jabatannya sampai satu periode atau tenggang waktu atau tempo jangka waktu lima tahun. Presiden RI ke-5 yang minat merasakan sebagai presiden satu periode, menjajal keberuntungan di pilpres 2004 dan 2009. Modal utamanya adalah sebagai anak ideologis, pewaris kekuasaan bapak pendiri bangsa. Salah satu proklamator. Ditambah nilai jual sebagai incumbent, petahana, pejawat presiden.pasti menang sesuai angan-angan di atas kertas. Sayang langkah gemulainya kalah cerdas dengan langkah bekas pembantunya, pembantu presiden.

Politik coba-coba yang digulirkan oleh para reformis, malah menjadi bola salju. Kondisi politik terkondisikan ketika presiden RI ke-6 mampu sesuai UU yang masa jabatan maksimum 2 periode. Bertutur-turut atau tidak, tidak jadi soal.

Ironis binti miris. Jika Golkar semasa Orde Baru sebagai pabrik pejabat, penguasa, penyelenggara negara, namun PG terjebak ambisi internal. Bahkan menyaring dan menjaring ketua umum menjadi persoalan dan masalah mendasar.

Masalah yang muncul, malah masalah sepele. Ternyata nyatanya jam terbang, rekam jejak, pengalaman mengenyam asam pahit asin di industri, panggung, syahwat politik, bukan jaminan sebuah parpol layak tanding, siap laga.

Soal rekrutmen, pengkaderan atau ajang cari bakat politikus mulai klas kampong, tidak berjalan sesuai skenario partai. Kebijakan ketua umum partai, pada partai dengan sistem buka-tutup, terasa dominan. Terlebih jika sang ketua umum mempunyai hak prerogatif.

Sudah saatnya untuk kembali ke Pancasila bagi para petarung politik. Banyak benar dan baiknya jika kehidupan berpolitik dijadikan budaya nasional. Sehingga para kawanan partai bisa mengacu pada UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Khususnya diawali dengan menyimak apa itu Pemajuan Kebudayaan. Ternyata yang mana, di mana, daripada Pemajuan Kebudayaan  adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.

Maksudnya, upaya Pemajuan Kebudayaan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam KebudaYaan

Melacak asal beberapa pasal berikutnya, terdapat :
Pengamanan Objek Pemajuan Kebudayaan dilakukan untuk mencegah pihak asing tidak melakukan klaim atas kekayaan intelektual Objek Pemajuan Kebudayaan.

Industri besar dan/ atau pihak asing yang akan melakukan Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan untuk kepentingan komersial wajib memiliki izin Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan dari Menteri.

Industri besar dan/atau pihak asing yang menyalahgunakan izin Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan sebagaimana dimaksud di atas dikenai sanksi administratif.

Yang dimaksud dengan 'pihak asing' adalah warga negara asing, organisasi asing, badan hukum asing, korporasi asing, atau negara asing. 

Jadi, memang enak harus kembali ke Pancasila, penuh dengan aturan main. Padalah manusia politik sejatinya adalah manusia bebas, manusia denga hak asasi semau gue. Persetan dengan orang lain, bukan urusannya.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar