Karena
Kita Lebih Bangga Sukses Pesta Demokrasi Daripada Sukses Praktik Demokrasi
Karena tradisi, adat istiadat, kearifan dan kecerdasan
lokal, budaya setempat atau akibat tuntutan lingkungan, permintaan pasar lokal,
gaya hidup prestis ketimbang prestasi, pola makan, gengsi sarat aksi, gaul yang
bikin amburadul dan seterusnya, dan sebagainya.
Katakana saja sejujurnya, bahwa praktik résépsi dengan
segala macam penyebab utamanya, latar belakang dan tujuan sebenarnya. Akhirnya
perhelatan résépsi dengan berbagai level, strata maupun kasta menjadi karakter
dan watak dasar suku bangsa, rasa tau etnis yang ada di Nusantara. Berjalan sejak
zaman penjajahan VOC/Belanda. Ada yang tetap dilakukan sesuai pakemnya. Sisanya
ada yang mengikuti arus zaman.
Soal biaya résépsi, menjadi tanggung jawab keluarga atau
masyarakat yang punya hajat, yang unduh acara, yang punya gawé. Tiap
daerah, tiap suku bangsa mempunyai kekhasan, keunikan dalam menyelenggarakan,
mengekspresikan rasa bangga sebagai putera-puteri daerah terbaik. Mampu
menjunjung tinggi budaya leluhur yang luhur.
Berbagai kisah dan kejadian pasca résépsi. Semua terkait
dengan pengadaan sumber biaya, pemanfaatan sumber dana. Ada yang besar pasak
daripada tiang. Prinsip utama adalah biar resési yang penting tetap résépsi.
Laku menguras tabungan sampai menjual harta benda atau versi lainnya yang tabu
diungkap, mejadi keharusan.
Apa saja peristiwa, kejadian yang harus dirayakan
sehingga sedemikian membutuhkan, menyerap dukungan modal, waktu dan tenaga.
Dampak, efek domino apa saja yang akan terjadi pasca asas
biar “resési yang penting tetap
résépsi”. Apakah meninggalkan hutang. Apakah harta benda ludes terjual. Apakah
menjadi turun strata ekonomi atau kasus lain yang selalu terjadi.
Sebagai contoh, walau hanya bahan cerita tentang ihkhwal
lingkungan. Di sekitar tempat tinggal penulis, masih ada lingkungan suku
bangsa, ras, etnis tertentu. Singkat cerita, pasca hajatan menikahkan anak
perempuannya, maka sang ortu kontrak di bekas rumah tinggalnya. Karena rumah
tinggalnya dijual kepada seseorang, dijadikan modal résépsi. Akhirnya pasca
résépsi, rumah sudah ganti pemilik. Sudah tidak punya tempat tinggal. Status
tinggal sebagai pengkontrak di bekas milik rumah tinggalnya. Runyam.
Bayangkan apa jadinya jika bangsa ini melakukan pesta
demokrasi, résépsi demokrasi. Seberapa kecil biaya politik yang sedemikan cepat
terserap. Mengalahkan penyerapan APBN.APBD maupun ULN atau bantuan mengikat
lainnya. Apa saja dampak negatifnya, egek domino bagi yang memang maupun
khususnya bagi pihak yang kalah suara.
Secara nasional pada pemilu 2014, dimana yang mana hasil
pemilu legislatif dan pilpres, membuktikan bahwa ada pihak yang tidak siap
menang. Mungkin karena selama dua periode sebelumnya, 2004-2009 dqn 2009-2014
hanya meratapi nasib. Merasa dizalimi. Lupa pengkaderan, sibuk bangun citra
diri, pesona diri. Sibuk tebar dan cari dukungan dari tangan-tangan asing
tetapi sudah buka cabang di tanah air. Efek éra mégatéga, jabatan presiden
bukan jabatan kenegaraan, tetapi sekedar jabatan petugas partai. Tak terhitung
efek domino dari politik transaksional. Pertarungan balas jasa, balas budi vs
balas dendam.
Jadi, jika ada kepala daerah aktif sedang jatuh sial,
terkena OTT KPK. Atau wakil rakyat di daerah ataupun nasional, tersandung pasal
korupsi atau pasal pidana lainnya. Tepatnya, seolah jalannya demokrasi menjadi
terganggu oleh orang dalam. Penguasa tanggap dengan mendirikan detasemen
spesialis Bhayangkara antikorupsi yang siap praktik awal 2018.
Di
sisi lain, penguasa yang bijak sudah siap dengan seperangkat kebijakan untuk
mencegah tangkal aksi gerakan senyap tapi nyata separatis ideologi. Artinya,
wabah dinasti politik yang menyuburkan korupsi lokal atau membentuk pemerintah
bayangan, tidak bisa dipidana. Karena merupakan efek domino negara multipartai.
Semua laku dilakukan sesuai asas konstitusi. Katakan, korupsi menjadi bagian
integral dari kebijakan partai. Korupsi menjadi produk sampingan negara
multipartai. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar