demi
wibawa negara, penguasa harus serba mégatéga
Ritual tahunan, terkait tahun ajaran
baru. Nasib anak didik klas 3 SMA/SMK ditentukan kelulusannya dengan bukti
meraih ijazah. Cerita semakin meningkat. Pengumuman kelulusan disambut dengan
hura-hura. Menjadi atraksi rutin merayakan kelulusan.
Mungkin, dengan ijazah SMA/SMK,
karena faktor dan kondisi keluarga, dirasa sudah cukup dan mau tak mau terjun
ke masyarakat, Didukung dengan sejumlah keahlian. Khususnya keahlian berbasis
kemajuan TIK dengan berbagai produk turunannya.
Mau melangkahkan kaki ke kampus
perguruang tinggi. Banyak ATHG yang menghadang.
Sinyalemen pemerintah, cukup
sederhana :
Pertama, anak yang mampu secara akademik, namun dari
keluarga kurang/tak mampu secara ekonomi. Tersedia menu berbagai program.
Kedua, anak yang kemampuan akademisnya pas-pasan, karena
berasal dari keluarga mampu. Masih dapat dikursuskan. Atau melanjutkan usaha
keluarga.
Ketiga, anak yang kemampuan akademisnya di bawah
rata-rata atau syarat tertentu, dari keluarga kurang/tak mampu secara ekonomi. Pemerintah
sudah mengantisipasi dengan kebijakan silih berganti.
Problem pendidikan tak akan pernah
berhenti. Seolah berlomba dengan potensi anak didik. Ditambah kebijakan
pemerintah yang tentunya merupakan kebijakan politik.
Entah sejak kapan, bahwa daya juang ideologi
harus sudah diberlakukan. Sebagai pendidikan sejak dini. Alternatif utama bela
negara, cinta tanah air, pro-pemerintah atau konsep akademis lainnya.
Periode 2014-2019 seolah generasi
pemilik masa depan sudah dicekoki dengan berbagai gizi, nutrisi yang serba
ajaib. Di pihak penguasa yang akan tetap mempertahankan eksistensinya sampai
periode kedua. Berlakulah pasal jangan percaya pada bayangan badan sendiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar