Halaman

Sabtu, 09 September 2017

MBR, antara masyarakat kurang beruntung dengan permanent underclass



MBR, antara masyarakat kurang beruntung dengan permanent underclass


Sejauh ini kita sudah familiar dan hafal dengan ejaan MBR yang merupakan singkatan dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Bicara MBR tak akan lepas sebagai subyek pembangunan rumah.  

Salah satu faktor pertimbangan UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah bahwa pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan kesulitan masyarakat untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau.

Mungkin dengan mengacu pada hakikat “pertumbuhan dan pembangunan wilayah”, sebagai entry point melihat fakta yang ada.

Diyakini, terjadinya disparitas atau ketimpangan, kesenjangan pembangunan antar wilayah terutama terjadi antara perdesaan dan perkotaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara antara pusat-pusat pertumbuhan dengan kawasan hinterland dan kawasan perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.  Kondisi ini seolah menjadi menu di setiap RPJMN. Secara kasus, di RPJMN 2015-2019 dikenalkan ada kabupaten sebagai daerah yang kurang beruntung.

Kita simak “Strategi Pengurangan Ketimpangan Dalam RPJM 2015-2019:, Kemen PPN/Bappenas, 2014. Mulai dengan menyimak : Gini rasio digunakan sebagai ukuran kesenjangan/ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan antar tingkat golongan pendapatan dalam suatu negara, yang merupakan hasil atau konsekuensi dari perkembangan kehidupan yang dinamis dan kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan secara simultan.

Peningkatan Gini Rasio di Indonesia pada akhir-akhir ini bukan karena menurunnya pendapatan masyarakat berpendapatan rendah dan kenaikan pendapatan masyarakat golongan berpendapatan tinggi, tetapi karena peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan masyarakat berpendapatan rendah.

UU 17/2007 tentang RPJP 2005-2025 menjelaskan bahwa Masalah kemiskinan bersifat multidimensi, karena bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan karena juga kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin. Kemiskinan juga menyangkut kegagalan dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Masalah MBR hanya pada pendapatan. Soal pengeluaran, memang ada pengertian Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

Menyangkut “nasib”, mungkin MBR lebih bernasib baik dibanding dengan kategori masyarakat yang kurang beruntung. Mengacu lampiran UU 17/2007 yaitu Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan kesejahteraan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.

Selama elit masih menganggap perlunya kehadiran rakyat sebagai permanent underclass, maka kemiskinan dan kesenjangan akan sangat sulit dihapuskan di negeri yang kita cintai ini. (sumber : “Kemsikinan-Kesenjangan : Perbuatan atau Pembiaran?”, orasi kebudayaan H.S Dillon 2016).

Belum lagi jika dilihat bahwa setiap K/L mempunyai formulasi dalam menangani masalah rakyat, penduduk, warga negara, masyarakat sampai keluarga, rumah tangga dan sebutan lainnya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar