Halaman

Kamis, 21 September 2017

efek domino separatis ideologi, fantasi berita bohong vs imajinasi petugas partai



efek domino separatis ideologi, fantasi berita bohong vs imajinasi petugas partai

Diakui oleh sejarah dunia maupun sejarah bangsa. Bahwa ideologi tak ada matinya dan tak mengenal kata kapok. Tak ada kamus mengakui keunggulan lawan. Yang ada hanya merasa dizalimi hingga sampai kalah angka.

Di Nusantara, ada pihak yang karena menang merek, bisa mendapat nikmat dunia. Akhirnya membenti karakter dan watak dasar bahwa kekuasaan akan lebih terhormat tidak perlu direbut, diraih, digapai, dicapai secara konstitusional. Hanya menghabiskan enerji, emosi dan harga diri. Lebih mantap, pas takaran jika diperoleh sebagai hak warisan. Minimal hibah, wakaf dari kakek-nenek moyangnya.

  Efek éra mégatéga, jabatan presiden bukan jabatan kenegaraan, tetapi sekedar jabatan petugas partai.

Tidak layak, tak patut, tidak pantas memperdebatkan ide stigmaisasi jabatan presiden, keluar dari otak siapa. Meluncur dari moncong, congor, corong siapa si manusia politk macam apa. Perang urat syarat dengan penistaan agama, menjadi agenda utama dan resmi gerakan politik. Pendurhakaan ideologi menjadi ramuan ajaib para pelaku, penggila, relawan partai.

Udara politik Nusantara sudah jenuh dan sarat polusi politik. Akibat perdagangan bebas dan kawasan bebas, ambang batas aman politik sudah terkontaminasi arus ideologi dunia. Karena sebagai negara besar penduduk, Indonesia masih belum diperhitungkan. Bahkan di atas  kertas bukan sebagai ancaman potensial.

Soal mayoritas umat Islam di NKRI, pihak asing tidak perlu tindak turun tangan sendiri. Tidak perlu berkeringat. Karena sudah ada pihak yang siap menjadi perpanjangan tangan mereka. Sejarah sejak zaman penjajahan VOC/pemerintah Belanda sudah membuktikan.

Manusia politik menjadi multiperan. Adegan dan peran apa saja siap dan sanggup dilakoninya. Asal imbalan politik, barter politik jangan sampai kapiran. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar