efek
domino separatis ideologi, fantasi berita bohong vs imajinasi petugas partai
Diakui oleh sejarah dunia maupun sejarah bangsa. Bahwa ideologi
tak ada matinya dan tak mengenal kata kapok. Tak ada kamus mengakui keunggulan
lawan. Yang ada hanya merasa dizalimi hingga sampai kalah angka.
Di Nusantara, ada pihak yang karena menang merek, bisa
mendapat nikmat dunia. Akhirnya membenti karakter dan watak dasar bahwa
kekuasaan akan lebih terhormat tidak perlu direbut, diraih, digapai, dicapai
secara konstitusional. Hanya menghabiskan enerji, emosi dan harga diri. Lebih mantap,
pas takaran jika diperoleh sebagai hak warisan. Minimal hibah, wakaf dari
kakek-nenek moyangnya.
Efek éra mégatéga,
jabatan presiden bukan jabatan kenegaraan, tetapi sekedar jabatan petugas
partai.
Tidak layak, tak patut, tidak pantas memperdebatkan ide
stigmaisasi jabatan presiden, keluar dari otak siapa. Meluncur dari moncong,
congor, corong siapa si manusia politk macam apa. Perang urat syarat dengan
penistaan agama, menjadi agenda utama dan resmi gerakan politik. Pendurhakaan
ideologi menjadi ramuan ajaib para pelaku, penggila, relawan partai.
Udara politik Nusantara sudah jenuh dan sarat polusi
politik. Akibat perdagangan bebas dan kawasan bebas, ambang batas aman politik
sudah terkontaminasi arus ideologi dunia. Karena sebagai negara besar penduduk,
Indonesia masih belum diperhitungkan. Bahkan di atas kertas bukan sebagai ancaman potensial.
Soal mayoritas umat Islam di NKRI, pihak asing tidak
perlu tindak turun tangan sendiri. Tidak perlu berkeringat. Karena sudah ada
pihak yang siap menjadi perpanjangan tangan mereka. Sejarah sejak zaman
penjajahan VOC/pemerintah Belanda sudah membuktikan.
Manusia politik menjadi multiperan. Adegan dan peran apa saja
siap dan sanggup dilakoninya. Asal imbalan politik, barter politik jangan
sampai kapiran. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar