Dikotomi Pelayanan RS, Komersial vs Profesional
Perubahan Kedua dan Keempat
UU NRI 1945 semakin meneguhkan betapa pentingan pelayanan kesehatan. Perubahan
Keempat menyuratkan di Pasal 34 ayat (3) :
Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Peraturan perundang-undangan
sebagai tindak lanjut UUD 1945 tentang Rumah Sakit (RS) maupun Kesehatan
sebagai aspek pelayanan kesehatan, sudah sedemikian rinci, jelas dan terukur. Kemajuan
zaman dan teknologi sudah diantispasi oleh kementerian yang bertanggung jawab. Pihak
pemerintah daerah, sesuai dengan asas otonomi daerah, juga sudah membuat payung
hukumnya.
Apa itu rumah sakit,
sudah dijabarkan secara yuridis formal :
Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
Penjabaran tentang
tanggung jawab dan wewenang RS, SOP RS sampai kode etik jabatan fungsional
tenaga kesehatan sebagai pedoman moral. Termasuk Permenkes 56/2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Perjalanan waktu, maka
pengelolaan RS mempunyai Siklus Transaksi Rumah Sakit yang memuat 5 siklus. Siklus
pertama adalah Siklus pendapatan terkait dengan pemberian jasa pelayanan rumah sakit
kepada pasien atau pihak lain dan penerimaan pembayaran pasien atau tagihan
dari pihak lain.
Agar daya layanan RS
pemerintah/swasta meningkat, dikenal masyarakat, sebagai pelayanan publik yang
profesional, tidak ada salahnya dikomersialkan. Kalau perlu bangun fasilitas
komersial, misal untuk rapat, seminar, pernikahan. RS pemerintah bisa
mendapatkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). RS swasta secara komersial beroperasional bak
hotel bintang.
Jadi, kalau masih ada
aneka kasus menimpa suatu RS, bahkan seperti berulang, sebagai bukti manajemen profesional
dan/atau manajemen komerisal yang masih “sakit”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar