Bhayangkara
Yudha, mafia hukum vs modus anti-korupsi
Perubahan berkemajuan – artinya
bukan jalan di tempat – yang bisa dirasakan oleh rakyat dengan status yang
katanya belum menikmati manfaat listrik, adalah adanya pergantian pemerintah
atau presiden.
Rakyat yang sarat penyandang
stigma karena status sosial, ekonomi mapun pendidikan, yang nayris turun-temurun.
Karena lokasinya, yang nyaris tak terendus oleh pemerintah lokal tingkat kelurahan/desa. Namun
karena mendapat hak konstitusional, maka ada harganya, nilainya. Jelang pemilu,
pilkada, mendadak diperhatikan nasibnya.
Minimal, rakyat atau kelompok
masyarakat yang homogen, akan mendapat wejangan dari penguasa setempat. Rakyat dikondisikan
agar wajib mensukseskan pesta demokrasi. Jangan sampai perhelatan akbar nasional,
yang menyerap dana yang tak layak disebut di depan mata rakyat, akan berjalan
tidak sesuai skenario semestinya.
Perubahan seolah hanya
pada bagaimana cara mensukseskan hari-H saja. Setelah itu, setelah pengambilan
sumpah dan janji, maka jalannya demokrasi yang ada di NKRI sangat tergantung
selera juara umum pesta demokrasi.
Efek domino pihak yang
tidak siap menang, lebih parah daripada pihak yang kalah suara tetapi jiwa bela
negara tetap diutamakan. Artinya, walau hanya sebagai pemain cadangan, tetap eksis
menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
Penyakit bawaan
pemerintah antar periode adalah perilaku korupsi. Bentuk terukur dari mengkhianati
kepercayaan rakyat. Ironis binti miris, pelaku korup, tidak merasa bersalah. Karena
mereka tidak mengkhianati kepercayaan dari partai. Mereka tidak cidera janji, tidak
ingkar janji untuk berbalas jasa, berbalas budi.
Pelaku korupsi bukan
orang perorang. Karena menjalankan perintah atasan, maka pelaku korup bisa dari
K/L/D/I maupun bentuk korporasi. Korupsi yang selama ini hanya beredar di
kalangan pemerintah, praktiknya praktik KKN ada di dunia swasta. Pelaku ekonomi
bahkan mampu mengendalikan pelaku politik.
Perubahan nyata pada
status perilaku korup. Hasil survei dari lembaga survei berbayar, membuktikan
bahwa pelaku korup bukan anak kemarin sore. Apalagi kalau dilakukan secara
sistematis, antar periode. Tidak sekedar perintah atasan atau sepengetahuan
pimpinan. Diperkuat pasal menjalankan kebijakan partai.
Agar jangan sampai tukang
korup yang merupakan orang terhormat. Jangan dibandingkan dengan pemulung atau
petugas pemungut sampah rumah tangga. Jangan disandingkan dengan rakyat yang
hidupnya dari kemurahan alam. Jangan ditandingkan dengan uneducated people,
permanent underclass atau stigma lainnya berdasarkan kebijakan
pemerintah.
Jadi, tidak hanya siapa
tukang korup yang harus diperhatikan nasibnya. Tetapi juga bagaimana pasal
anti-korupsi malah menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar