Halaman

Kamis, 28 September 2017

Bhayangkara Yudha, mafia hukum vs modus anti-korupsi



Bhayangkara Yudha, mafia hukum vs modus anti-korupsi

Perubahan berkemajuan – artinya bukan jalan di tempat – yang bisa dirasakan oleh rakyat dengan status yang katanya belum menikmati manfaat listrik, adalah adanya pergantian pemerintah atau presiden.

Rakyat yang sarat penyandang stigma karena status sosial, ekonomi mapun pendidikan, yang nayris turun-temurun. Karena lokasinya, yang nyaris tak terendus  oleh pemerintah lokal tingkat kelurahan/desa. Namun karena mendapat hak konstitusional, maka ada harganya, nilainya. Jelang pemilu, pilkada, mendadak diperhatikan nasibnya.

Minimal, rakyat atau kelompok masyarakat yang homogen, akan mendapat wejangan dari penguasa setempat. Rakyat dikondisikan agar wajib mensukseskan pesta demokrasi. Jangan sampai perhelatan akbar nasional, yang menyerap dana yang tak layak disebut di depan mata rakyat, akan berjalan tidak sesuai skenario semestinya.

Perubahan seolah hanya pada bagaimana cara mensukseskan hari-H saja. Setelah itu, setelah pengambilan sumpah dan janji, maka jalannya demokrasi yang ada di NKRI sangat tergantung selera juara umum pesta demokrasi.

Efek domino pihak yang tidak siap menang, lebih parah daripada pihak yang kalah suara tetapi jiwa bela negara tetap diutamakan. Artinya, walau hanya sebagai pemain cadangan, tetap eksis menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.

Penyakit bawaan pemerintah antar periode adalah perilaku korupsi. Bentuk terukur dari mengkhianati kepercayaan rakyat. Ironis binti miris, pelaku korup, tidak merasa bersalah. Karena mereka tidak mengkhianati kepercayaan dari partai. Mereka tidak cidera janji, tidak ingkar janji untuk berbalas jasa, berbalas budi.

Pelaku korupsi bukan orang perorang. Karena menjalankan perintah atasan, maka pelaku korup bisa dari K/L/D/I maupun bentuk korporasi. Korupsi yang selama ini hanya beredar di kalangan pemerintah, praktiknya praktik KKN ada di dunia swasta. Pelaku ekonomi bahkan mampu mengendalikan pelaku politik.

Perubahan nyata pada status perilaku korup. Hasil survei dari lembaga survei berbayar, membuktikan bahwa pelaku korup bukan anak kemarin sore. Apalagi kalau dilakukan secara sistematis, antar periode. Tidak sekedar perintah atasan atau sepengetahuan pimpinan. Diperkuat pasal menjalankan kebijakan partai.

Agar jangan sampai tukang korup yang merupakan orang terhormat. Jangan dibandingkan dengan pemulung atau petugas pemungut sampah rumah tangga. Jangan disandingkan dengan rakyat yang hidupnya dari kemurahan alam. Jangan ditandingkan dengan uneducated people, permanent underclass atau stigma lainnya berdasarkan kebijakan pemerintah.

Jadi, tidak hanya siapa tukang korup yang harus diperhatikan nasibnya. Tetapi juga bagaimana pasal anti-korupsi malah menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar