Halaman

Sabtu, 30 September 2017

karakter ideologi pe-revolusi mental, minim peluh sarat keluh



karakter ideologi pe-revolusi mental, minim peluh sarat keluh

Bentuk fisik, postur tubuh, tongkrongan raga, tangkringan jasmani  maupun atribut kejiwaan, sifat orang tua bisa mewaris atau menurun ke anaknya.  Tidak salah kalau seorang anak mewarisi watak orang tuannya, bahkan hasil kombinasi watak ibu bapaknya. Sifat, watak, karakter, tabiat atau padanan kata  lainnya, bisa bersifat turunan sebagai pengaruh internal dan terkecuali pengaruh eksternal.

Atribut atau asesoris apa saja yang dibawa manusia sejak dalam kandungan bahkan? Kita mengacu [QS Al Ma’aarij (70) : 19-23] : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,”

Jangan diartikan Allah menjadikan sifat keluh kesah lagi kikir, sebagai beban kehidupan, atau diaggap dosa bawaan, dosa titipan. Atau bahkan dijadikan alasan jika kita berhal demikian, saat kita bernasib demikian. Keluh kesah lagi kikir sebagai penyakit umat manusia tentu ada obatnya. Tersurat di surat/ayat di atas, obat anti keluh kesah lagi kikir yaitu ‘kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya’.

Manusia politik yang beredar bebas di Nusantara, tanpa pengaruh HET. Karena nilai tukar kawanan parpolis tergantung atau seolah menjadi harga liar. Ya artiya tergantung fanatisme masyarakat terhadap merek tertentu. produk tertentu. Sentiment yang terbangun sebagai timbal balik tindak kebencian manusia politik yang sedang menikmati kekuasaannya.

Soal sifat manusia politik yang berbasis keluh kesah lagi kikir, tentu ada penyebab konstitusionalnya.

Pertama. Sudah menelan biaya politik, dari kantong pribadi, tabungan keluarga sampai pinjaman atau utangan yang mengikat (semacam barter politik), ujung-ujungnya suara masuk tidak mencukupi untuk menjadi wakil rakyat ataupun kepala daerah. Jangan dibayangkan betapa “harga” dari sebuah jabatan presiden.

Kedua. Semua sumber daya sudah terpakai habis. Memang jabatan sudah diraih, di tangan dan sudah diambil sumpah jabatan. Namun masih ada ambisi yang belum terwujud. Belum lagi beban utang ke makelar; cukong; ke investor politik. Diperparah dengan beban balas jasa, beban balas budi yang sulit lunasi dalam satu periode.

Jadi kikirnya manusia politik, minimal sesuai dengan dua alasan di atas.

Keluh kesahnya manusia politik, dikarenakan meratapi nasib diri. Semisal, contoh gamblang, terang benderang adalah jika ada anak bangsa, putera-puteri asli daerah terbaik, yang menjadi spesialis peserta pesta demokrasi. Selalu kalah angka.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar