dikotomi karakter penguasa, munduk-munduk vs mentèntèng
Laku dan tindak andap/andhap asor utawa trapsila, lembah manah, ora gumbedhé, rendah hati, sopan santun di panggung politik atau pihak yang sedang
berkuasa memang acap bikin geleng kepala pemirsa, penonoton, pendelok. Kasus atau
wajib laku ini menimpa semua gender.
Ironis binti miris, secara tak sengaja ada saja tindak
tanduk, tindak tutur penguasa yang masuk kategori asor. Karepé opo mbah?
Namanya strategi
politik, apapun wajar dilakukan. Baik oleh pihak pengusa atau di luar itu
tetapi yang nota bene punya kuasa karena kaya. Pihak karena kuat sehingga bak
penguasa. Semacam manusia bebas di jalan, di gang atau kampong.
Bangsa Indonesia adalah
akumulasi keluarga besar dari berbagai SARA. Jangankan setiap SARA, setiap
individu saja mempunyai karakter masing-masing. Memang, karakter itu sebagai
faktor bawaan sejak lahir. Karakter anak manusia sebagai resultan atau gabungan
dari kedua orangtuanya.
Semboyan, jargon “ti ji, ti béh”nya pangeran Alap-Alap Samber Nyawa saat usir
penjajah Belanda, berlaku juga di industri, syahwat dan aroma irama politik
Nusantara. Khususnya pada makna “mukti siji, mukti kabéh” yang melahirkan dan
mneyuburkan dinasti politik.
Di periode 2014-2019,
wabah dinasti politik sudah berdampak, berefek domino serta membentuk
pemerintah bayangan sampai tingkat kabupaten/kota.
UU Desa memberi peluang
kepada orang lokal untuk bisa menjadi Kepala Desa sesuai pasal-pasalnya. Agaknya
jabatan kades tidak dilirik kawanan parpol lokal. Tapi yang diharapkan adalah
pemanfaatan dana desa.
Aji mumpung vs mumpung
aji berlaku dan dipraktikkan oleh penguasa. Khususnya lagi bagi jabatan yang
diperolah karena hak prerogatif presiden dan/atau wakil presiden.
Aji godhong garing alias wis ora ana ajiné/asor banget, ternyata banyak penggemarnya. Oknum penguasa,
berseragam atau tidak, tampak garang-garing. Hobi membuat
pernyataan politik, agar rakyat takut, susut dan mengkerut nyalinya untuk
makar.
Ada juga penguasa yang
memakai aji panglimunan alias
ilmu menghilang. Dipraktikkan untuk
menghilangkan jejak kejahatan. Dipakai oleh aparat penegak hukum untuk
menghilangkan barang bukti sekaligus menghadirkan bukti baru.
Akhir kata, penguasa
selain mempunyai aji atau ajai-aji, juga mengantongi jimat. Jimat dalam arti “siji dirumat”. Maksudnya satu-satunya
kekuasaan di tangan, dijaga siang malam, jangan sampai direbut orang lain. Atau
jatuh ke tangan yang tidak berhak.
Akhirnya, masih ada
penguasa yang gemar jaja rumat alias ngrungokaké warta
nuli ditular-tularaké.
Piyé paklik/mbokdé. Isih waras?.
Apakah akan ada gerakan
merekayasa karakter bangsa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar