Halaman

Kamis, 07 September 2017

dikotomi karakter penguasa, munduk-munduk vs mentèntèng



dikotomi karakter penguasa, munduk-munduk vs mentèntèng

Laku dan tindak andap/andhap asor utawa trapsila, lembah manah, ora gumbedhé, rendah hati,  sopan santun di panggung politik atau pihak yang sedang berkuasa memang acap bikin geleng kepala pemirsa, penonoton, pendelok. Kasus atau wajib laku ini menimpa semua gender.

Ironis binti miris, secara tak sengaja ada saja tindak tanduk, tindak tutur penguasa yang masuk kategori asor. Karepé opo mbah?

Namanya strategi politik, apapun wajar dilakukan. Baik oleh pihak pengusa atau di luar itu tetapi yang nota bene punya kuasa karena kaya. Pihak karena kuat sehingga bak penguasa. Semacam manusia bebas di jalan, di gang atau kampong.

Bangsa Indonesia adalah akumulasi keluarga besar dari berbagai SARA. Jangankan setiap SARA, setiap individu saja mempunyai karakter masing-masing. Memang, karakter itu sebagai faktor bawaan sejak lahir. Karakter anak manusia sebagai resultan atau gabungan dari kedua orangtuanya.

Semboyan, jargon “ti ji, ti béh”nya pangeran Alap-Alap Samber Nyawa saat usir penjajah Belanda, berlaku juga di industri, syahwat dan aroma irama politik Nusantara. Khususnya pada makna “mukti siji, mukti kabéh” yang melahirkan dan mneyuburkan dinasti politik.

Di periode 2014-2019, wabah dinasti politik sudah berdampak, berefek domino serta membentuk pemerintah bayangan sampai tingkat kabupaten/kota.

UU Desa memberi peluang kepada orang lokal untuk bisa menjadi Kepala Desa sesuai pasal-pasalnya. Agaknya jabatan kades tidak dilirik kawanan parpol lokal. Tapi yang diharapkan adalah pemanfaatan dana desa.

Aji mumpung vs mumpung aji berlaku dan dipraktikkan oleh penguasa. Khususnya lagi bagi jabatan yang diperolah karena hak prerogatif presiden dan/atau wakil presiden.

Aji godhong garing alias wis ora ana ajiné/asor banget, ternyata banyak penggemarnya. Oknum penguasa, berseragam atau tidak, tampak garang-garing. Hobi membuat pernyataan politik, agar rakyat takut, susut dan mengkerut nyalinya untuk makar.

Ada juga penguasa yang memakai aji panglimunan alias ilmu menghilang. Dipraktikkan untuk menghilangkan jejak kejahatan. Dipakai oleh aparat penegak hukum untuk menghilangkan barang bukti sekaligus menghadirkan bukti baru.

Akhir kata, penguasa selain mempunyai aji atau ajai-aji, juga mengantongi jimat. Jimat dalam arti “siji dirumat”. Maksudnya satu-satunya kekuasaan di tangan, dijaga siang malam, jangan sampai direbut orang lain. Atau jatuh ke tangan yang tidak berhak.

Akhirnya, masih ada penguasa yang gemar jaja rumat alias  ngrungokaké warta nuli ditular-tularaké.

Piyé paklik/mbokdé. Isih waras?.

Apakah akan ada gerakan merekayasa karakter bangsa. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar