telah
tiada tetapi tetap ada di hati rakyat
Bukan sekedar kalimat bijak bahwasanya
masa lalu menjadi pelajaran. Ibarat grafik, ritme, proses kehidupan bangsa,
maka manfaat sejarah untuk mengantisipasi sejarah yang akan kita buat. Setiap
anak manusia tentu mempunyai sejarahnya. Mempunyai riwayat hidup dengan aneka
pengalaman, berbagai tingkatan suka-duka, serba-serbi memakan asam garap
kehidupan, terhitung sejak lahir di dunia.
Rekam jejak kehidupan anak bangsa,
seolah menjadi syarat administrasi untuk maju ke etape, tahapan berikutnya. Sebagai
syarat untuk diakui sebagai manusia seutuhnya. Bagaimana syarat untuk menjadi
manusia Indonesia seutuhnya. Pasal 15 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,
mengamanatkan :
Pasal 15
Setiap orang
berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi
maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Penamaan pada diri manusia, menurut
Al-Qur’an disebut dengan berbagai istilah yang sekaligus menunjukkan aneka
aspek kehidupan manusia. Mulai dari aspek historis penciptannya; aspek biologis
atau kandungan kimiawinya; aspek kecerdasan sebagai jati diri dibanding makhluk
lainnya; aspek sosiologisnya; sampai aspek posisi dan kedudukannya sebagai
hamba Allah.
Jadi, justru yang dominan bagaimana
posisi dan kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang terikat secara geografis
dengan sistem pemerintahan atau negara hukum yang mengutamakan hukum buatan
manusia. Kendati ada jaminan hukum – biasanya bukan sebagai kepastian hukum
– semisal di Pasal 15 UU 30/1999
tersebut di atas.
Pemerintah artinya penguasa yang
mempunyai semua hak memerintah, sampai tingkat bawah yang masuk jajaran
penylemnggara negara, tidak serta merta mendukung praktik Pasal 15 tertera di
atas.
Pemerintah liwat aparat keamanan negara,
mempunyai jurus mematikan, senjata pamungkas, aji dan jimat rahasia. Rakyat
tingal pilih. Ditunjuk pakai tangan kiri yang artinya akan masuk hotel gratis
alias penjara. Atau ditunjuk pakai tangan kanan yang bermakna boleh pilih
tempat peristirahatan terakhir, di mana saja.
Stigma atau pencitraan manusia
Indonesia sebagai teroris, pemakar, uneducated
people, permanent underclass, warga
negara klas kambing atau sebutan lainnya, tidak perlu direspon, bereaksi atau melakukan
berbalas pantun. Jelas, karena menganggap orang lain lebih buruk dari diri kita
adalah suatu keburukan sendiri.
Sangat penting jika kita berkaca, kita masuk manusia tipe
apa. Simak firman Allah yang diabadikan di Al-Qur’an (QS Al A’raaf [7] : 179) :
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Mereka, anak bangsa NKRI, yang karena
jabatan, kedudukan otomatis memahami, melihat dan mendengar pasal hukum produk
akal manusia – apakah bukan masuk orang-orang yang lalai – tetapi sebagai
pengabdi.
Sebagai penutup olahkata ini, namun
bukan yang terakhir, ada sebuah kalimat kebalikan dari judul, yaitu : “selalu tetap
ada namun selalu tiada di hati rakyat”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar