Halaman

Selasa, 23 Mei 2017

telah tiada tetapi tetap ada di hati rakyat



telah tiada tetapi tetap ada di hati rakyat

Bukan sekedar kalimat bijak bahwasanya masa lalu menjadi pelajaran. Ibarat grafik, ritme, proses kehidupan bangsa, maka manfaat sejarah untuk mengantisipasi sejarah yang akan kita buat. Setiap anak manusia tentu mempunyai sejarahnya. Mempunyai riwayat hidup dengan aneka pengalaman, berbagai tingkatan suka-duka, serba-serbi memakan asam garap kehidupan, terhitung sejak lahir di dunia.

Rekam jejak kehidupan anak bangsa, seolah menjadi syarat administrasi untuk maju ke etape, tahapan berikutnya. Sebagai syarat untuk diakui sebagai manusia seutuhnya. Bagaimana syarat untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Pasal 15 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengamanatkan :
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Penamaan pada diri manusia, menurut Al-Qur’an disebut dengan berbagai istilah yang sekaligus menunjukkan aneka aspek kehidupan manusia. Mulai dari aspek historis penciptannya; aspek biologis atau kandungan kimiawinya; aspek kecerdasan sebagai jati diri dibanding makhluk lainnya; aspek sosiologisnya; sampai aspek posisi dan kedudukannya sebagai hamba Allah.

Jadi, justru yang dominan bagaimana posisi dan kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang terikat secara geografis dengan sistem pemerintahan atau negara hukum yang mengutamakan hukum buatan manusia. Kendati ada jaminan hukum – biasanya bukan sebagai kepastian hukum –  semisal di Pasal 15 UU 30/1999 tersebut di atas.

Pemerintah artinya penguasa yang mempunyai semua hak memerintah, sampai tingkat bawah yang masuk jajaran penylemnggara negara, tidak serta merta mendukung praktik Pasal 15 tertera di atas.

Pemerintah liwat aparat keamanan negara, mempunyai jurus mematikan, senjata pamungkas, aji dan jimat rahasia. Rakyat tingal pilih. Ditunjuk pakai tangan kiri yang artinya akan masuk hotel gratis alias penjara. Atau ditunjuk pakai tangan kanan yang bermakna boleh pilih tempat peristirahatan terakhir, di mana saja.

Stigma atau pencitraan manusia Indonesia sebagai teroris, pemakar, uneducated people, permanent underclass, warga negara klas kambing atau sebutan lainnya, tidak perlu direspon, bereaksi atau melakukan berbalas pantun. Jelas, karena menganggap orang lain lebih buruk dari diri kita adalah suatu keburukan sendiri.

Sangat penting jika kita berkaca, kita masuk manusia tipe apa. Simak firman Allah yang diabadikan di Al-Qur’an (QS Al A’raaf [7] : 179) : 
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”  

Mereka, anak bangsa NKRI, yang karena jabatan, kedudukan otomatis memahami, melihat dan mendengar pasal hukum produk akal manusia – apakah bukan masuk orang-orang yang lalai – tetapi sebagai pengabdi.

Sebagai penutup olahkata ini, namun bukan yang terakhir, ada sebuah kalimat kebalikan dari judul, yaitu : “selalu tetap ada namun selalu tiada di hati rakyat”. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar