peta
politik anti-NKRI : negara provinsi dan/atau negara kabupaten/kota
Konstélasi, keadaan persoalan, potret
nyata politik di lapangan semakin memprihatinkan. Corak warna politik ala Orde
Lama dengan gaya Nasakom, warna merah tidak luntur tuntas. Dibebani warisan
sistem masa mengambang andalan penguasa Orde Baru, yang menganakemaskan Golkar
sebagai OPP (organisasi peserta pemilu). Diperparah dengan modus pememrintah
membuka pasar investasi politik dari negara paling bersahabat, yang nyatanya
memang sudah mengendalikan periode 2014-2019 dan disinyalir akan berlanjut.
Pasca pilkada DKI Jakarta putaran
kedua, Rabu 19 April 2017, tengkulak politik sudah ambil sikap “gebug dulu,
rembug belakangan”. Kontrak politik tinggal meluncur menghabiskan paruh akhir
sekaligus mematut diri menuju ke periode lanjutan. Aparat keamanan sudah
dikonstruksi menjadi pengaman jalur.
Jalur udara sudah masuk kalangan konco dw. Dukungan dana dari pelaku
ekonomi sudah tinggal pakai.
Daerah, sampai lingkup RT/RW sudah
dielus-elus agar setia dan cinta tanah air Indonesia. Namun, NKRI seperti
kecolongan atau terjadi pembiaran maraknya dinasti politik. Atau nantinya di
pesta demokrasi 2019 sebagai lumbung suara nasional.
Setiap parpol peserta pemilu seolah mempunyai
basis masa, basis loyalis, pendukung fanatik. Daerah pemilihan (dapil) seperti
menjadi teritorial resmi bercokolnya dominasi parpol tertentu. Dapil macam bola
liar akan diperebutkan secara terbuka.
Dinasti
politik, politik transaksional, modus investor politik, bandar / tengkulak
politik dengan sistem ijon, penguasaan teritoral dapil, semakin mewujudkan
negara provinsi dan/atau negara kabupaten/kota. Dengan sistem pewarisan
kekuasaan formal secara konstitusional yang terencana. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar