Halaman

Senin, 08 Mei 2017

peta politik anti-NKRI : negara provinsi dan/atau negara kabupaten/kota



peta politik anti-NKRI : negara provinsi dan/atau negara kabupaten/kota

Konstélasi, keadaan persoalan, potret nyata politik di lapangan semakin memprihatinkan. Corak warna politik ala Orde Lama dengan gaya Nasakom, warna merah tidak luntur tuntas. Dibebani warisan sistem masa mengambang andalan penguasa Orde Baru, yang menganakemaskan Golkar sebagai OPP (organisasi peserta pemilu). Diperparah dengan modus pememrintah membuka pasar investasi politik dari negara paling bersahabat, yang nyatanya memang sudah mengendalikan periode 2014-2019 dan disinyalir akan berlanjut.

Pasca pilkada DKI Jakarta putaran kedua, Rabu 19 April 2017, tengkulak politik sudah ambil sikap “gebug dulu, rembug belakangan”. Kontrak politik tinggal meluncur menghabiskan paruh akhir sekaligus mematut diri menuju ke periode lanjutan. Aparat keamanan sudah dikonstruksi menjadi pengaman jalur.

Jalur udara sudah masuk kalangan konco dw. Dukungan dana dari pelaku ekonomi sudah tinggal pakai.

Daerah, sampai lingkup RT/RW sudah dielus-elus agar setia dan cinta tanah air Indonesia. Namun, NKRI seperti kecolongan atau terjadi pembiaran maraknya dinasti politik. Atau nantinya di pesta demokrasi 2019 sebagai lumbung suara nasional.

Setiap parpol peserta pemilu seolah mempunyai basis masa, basis loyalis, pendukung fanatik. Daerah pemilihan (dapil) seperti menjadi teritorial resmi bercokolnya dominasi parpol tertentu. Dapil macam bola liar akan diperebutkan secara terbuka. 

Dinasti politik, politik transaksional, modus investor politik, bandar / tengkulak politik dengan sistem ijon, penguasaan teritoral dapil, semakin mewujudkan negara provinsi dan/atau negara kabupaten/kota. Dengan sistem pewarisan kekuasaan formal secara konstitusional yang terencana. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar