Halaman

Minggu, 07 Mei 2017

Di Mana Bumi Kita Pijak, Di Situ Tempat Kita Mengabdi Kepada-Nya



Di Mana Bumi Kita Pijak, Di Situ Tempat Kita Mengabdi Kepada-Nya

Kata “mengabdi” diabadikan dalam Al-Qur’an hanya sekali, yaitu pada [QS Adz Dzaariyaat (51) : 56] : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Substansi dalam Al-Qur’an ada yang diulang-ulang dengan redaksi yang berbeda, agar kandungan  keimanan, hukum-hukum, pelajaran, kisah-kisah, dan lain-lain supaya lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap.

Setiap memulai pekerjaan dan aktivitas yang baik, agar dicatat sebagai amalan, disyaratkan (bahkan wajib) dimulai dan didasari dengan membaca Basmallah, menyebut asma Allah. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya.

Membedah makna “mengabdi” jangan memakai kamus, hukum, bahasa, dali manusia.

“Mengabdi” terkait erat dengan “merendahkan diri” sebagai hamba-Nya dengan “menyembah” atau sujud.  Ayat lain menjelaskan makna sujud yaitu memperhambakan diri karena hanyalah semata-mata kepada Allah. Kesemuanya berhubungan langsung sesuai yang tersurat dan tersirat di pada [QS Ali ‘Imran (3) : 2] : “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.”

Umat Islam yang hafal ayat Kursi, mungkin suka lupa akan makna kalimat pertamanya, yaitu [QS Al Baqarah (2) : 255] : “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya);”

Makna “mengurus mahkluk-Nya” adalah Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya.

Jadi, posisi, peran dan tugas umat Islam dalam mempraktikkan, merealisasikan mengabdi kepada-Nya dengan dasar sebagai makhluk yang membutuhkan-Nya, wajib dilakukan secara 24 jam sehari semalam, konstan, kontinyu, nonstop, total, loyal seratus persen. Bukan sekedar mengimbagi betapa Allah terus-menerus mengurus makhluk-Nya, hamba-Nya.

Agar umat Islam mampu mengabdi kepada-Nya 24 jam sehari semalam, Allah memberi memberi dasar pengabdian yaitu agar selalu ingat Allah. Ada beberapa surat dalam Al-Qur’an yang menjelaskannya, a.l. pada [QS An Nisaa' (4) : 103] : “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Menegakkan sholat fardhu 5 waktu, yang ditentukan waktunya, dan ada adab atau syarat untuk tempat sholat. Artinya juga pelaksanaan Rukun Islam (mengucapkan dua kalimat syahadat, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menuaikan ibadah haji ke Bailtullah jika mampu) sesuai tuntunan Al-Quran dan penjelasan Sunnah Rasulullah saw. Diperkaya dengan pengertian ada waktu dan tempat yang doa kita diijabah oleh Allah.

Jadi mengabdi kepada Allah dilakukan sepanjang waktu dan dalam posisi (sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring) bagaimanapun dan kondisi apapun (di waktu lapang maupun di waktu sempit).

Bentuk dasar, utama pengabdian umat Islam, sebagai hamba-Nya, kepada-Nya adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dengan total sekaligus menjauhi segala larangan Allah dengan kuat.

Saat melaksanakan hukum Allah, umat Islam berada dalam koridor hablumminallah dan hablumminannas’.

Sebagai catatan, saya ambil dan oleh dari berbagai sumber, dalam hal ini kedudukan hablumminallah dan hablumminannas adalah sama dan setara. Al-Qur’an tidak pernah membagi hukum-hukum berdasarkan objek atau subjeknya, membedakan hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antar sesama manusia (muamalah). Bahkan hablumminallah adalah sumber hukum dari segala hukum buatan manusia. Pembedaan ditetapkan Allah berdasarkan ‘darimana hukum tersebut dihasilkan’, apakah dari Allah, atau dari hasil perjanjian sesama manusia.

Puncak pengabdian ketika umat Islam ketika melaksanakan tugas atau perintah “menolong agama Allah”. Dapat kita simak di [QS Al Hajj (22) : 40]; [QS Al Hadiid (57) : 25]  dan [QS Muhammad (47) : 7]. Ikhwal ini memerlukan bahasan tersendiri.

Tentunya, kita sebagai umat Islam dalam melaksanakan ibadah mengabdi kepada-Nya, bukan biasa-biasa saja. Asal pokoknya dijalankan daripada tidak. Tak kalah penting dalam menjalankan ibadah kepada-Nya harus dengan ilmu dan laku.

Tempat dan waktu sebagai dimensi keempat, mengikat proses terjadinya dan berakhirnya manusia. Membingkai kegiatan manusia, dalam rangka ibadah maupun amaliah, sebagai ikhtiar melaksanakan  hablumminallah, serta menjaga urusan hablumminallah dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Waktu adalah uang memang bukan semboyan umat Islam. Namun  pengertian bahwa kita hidup di dunia yang kita pijak hanya sekedar mampir, berarti kita harus konsisten terhadap waktu. Kita simak [QS Al Mu'minuun (23) : 114] : “Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar