Di Mana
Bumi Kita Pijak, Di Situ Tempat Kita Mengabdi Kepada-Nya
Kata “mengabdi” diabadikan dalam Al-Qur’an hanya
sekali, yaitu pada [QS Adz Dzaariyaat (51) : 56] : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Substansi dalam Al-Qur’an ada yang
diulang-ulang dengan redaksi yang berbeda, agar kandungan keimanan, hukum-hukum, pelajaran, kisah-kisah,
dan lain-lain supaya lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap.
Setiap memulai pekerjaan dan aktivitas yang baik, agar
dicatat sebagai amalan, disyaratkan (bahkan wajib) dimulai dan didasari dengan
membaca Basmallah, menyebut asma Allah. Allah ialah nama zat yang Maha Suci,
yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan
makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya.
Membedah makna “mengabdi” jangan
memakai kamus, hukum, bahasa, dali manusia.
“Mengabdi” terkait erat dengan “merendahkan diri” sebagai
hamba-Nya dengan “menyembah” atau sujud. Ayat lain menjelaskan makna sujud
yaitu memperhambakan
diri karena hanyalah semata-mata kepada Allah. Kesemuanya berhubungan langsung sesuai
yang tersurat dan tersirat di pada [QS Ali ‘Imran (3) : 2] : “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
makhluk-Nya.”
Umat Islam yang hafal ayat Kursi, mungkin suka lupa
akan makna kalimat pertamanya, yaitu [QS Al
Baqarah (2) : 255] : “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya);”
Makna “mengurus mahkluk-Nya” adalah Allah mengatur langit
dan bumi serta seisinya.
Jadi, posisi, peran dan tugas umat Islam dalam
mempraktikkan, merealisasikan mengabdi kepada-Nya dengan dasar sebagai makhluk
yang membutuhkan-Nya, wajib dilakukan secara 24 jam sehari semalam, konstan,
kontinyu, nonstop, total, loyal seratus persen. Bukan sekedar mengimbagi betapa
Allah terus-menerus mengurus makhluk-Nya, hamba-Nya.
Agar umat Islam mampu mengabdi kepada-Nya 24 jam sehari
semalam, Allah memberi memberi dasar pengabdian yaitu agar selalu ingat Allah. Ada
beberapa surat dalam Al-Qur’an yang menjelaskannya, a.l. pada [QS An Nisaa' (4) : 103] : “Maka apabila
kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Menegakkan sholat fardhu 5 waktu, yang ditentukan
waktunya, dan ada adab atau syarat untuk tempat sholat. Artinya juga pelaksanaan
Rukun Islam (mengucapkan dua kalimat syahadat, menegakkan sholat, menunaikan
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menuaikan ibadah haji ke Bailtullah jika
mampu) sesuai tuntunan Al-Quran dan penjelasan Sunnah Rasulullah saw. Diperkaya
dengan pengertian ada waktu dan tempat yang doa kita diijabah oleh Allah.
Jadi mengabdi kepada Allah dilakukan sepanjang waktu dan
dalam posisi (sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring)
bagaimanapun dan kondisi apapun (di waktu lapang maupun di waktu sempit).
Bentuk dasar, utama pengabdian umat Islam, sebagai
hamba-Nya, kepada-Nya adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dengan
total sekaligus menjauhi segala larangan Allah dengan kuat.
Saat melaksanakan hukum Allah, umat Islam berada dalam
koridor ‘hablumminallah’ dan ‘hablumminannas’.
Sebagai catatan, saya ambil dan oleh dari berbagai
sumber, dalam hal ini kedudukan ‘hablumminallah’ dan ‘hablumminannas’ adalah sama dan setara.
Al-Qur’an tidak pernah membagi hukum-hukum berdasarkan objek atau subjeknya,
membedakan hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antar
sesama manusia (muamalah). Bahkan ‘hablumminallah’ adalah sumber hukum dari segala
hukum buatan manusia. Pembedaan ditetapkan Allah berdasarkan ‘darimana hukum
tersebut dihasilkan’, apakah dari Allah, atau dari hasil perjanjian sesama
manusia.
Puncak pengabdian ketika umat Islam ketika
melaksanakan tugas atau perintah “menolong agama Allah”. Dapat kita simak di [QS Al Hajj (22) : 40]; [QS Al Hadiid (57) : 25] dan [QS Muhammad (47) : 7]. Ikhwal ini memerlukan bahasan tersendiri.
Tentunya,
kita sebagai umat Islam dalam melaksanakan ibadah mengabdi kepada-Nya, bukan
biasa-biasa saja. Asal pokoknya dijalankan daripada tidak. Tak kalah penting
dalam menjalankan ibadah kepada-Nya harus dengan ilmu dan laku.
Tempat
dan waktu sebagai dimensi keempat, mengikat proses terjadinya dan berakhirnya
manusia. Membingkai kegiatan manusia, dalam rangka ibadah maupun amaliah,
sebagai ikhtiar melaksanakan ‘hablumminallah’, serta menjaga urusan ‘hablumminallah’ dalam kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat.
Waktu adalah uang memang bukan semboyan umat Islam. Namun pengertian bahwa kita hidup di dunia yang kita
pijak hanya sekedar mampir, berarti kita harus konsisten terhadap waktu. Kita
simak [QS Al Mu'minuun (23) : 114] : “Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal
(di bumi) melainkan sebentar saja,
kalau kamu sesungguhnya mengetahui." [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar