bangkit dan mandiri di
atas sila-sila Pancasila yang terserak
Bangganya
presiden ketujuh RI, yang mengumbar fakta di depan kepala-negara negara yang
jumlahnya penduduknya di bawah NKRI. Merdekanya setelah NKRI. Makmur dan
sejahteranya tak bisa dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan NKRI. Debut
sang presiden, sebelumnya belum pernah dilakukan dan terjadi sejak reformasi
bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998.
Tak
kurang girangnya, sang presiden berujar bahwa berkat jasa nenek moyangnya maka
NKRI sebelum proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sudah menyiapkan dasar
negara terlebih dahulu, yaitu : Pancasila. Tak lupa pula dijabarkan keampuhan
Pancasila sampai era kepemimpinannya. Minimal hari jadi, hari lahir Pancasila 1
Juni 1945, telah ditetapkannya menjadi hari libur nasional. Suatu tindak
kebijakan yang patriotik, heroik tiada tandingan oleh presiden manapun.
Selama zaman Orde Baru, Pancasila dikenal kesaktiannya dan melahirkan
Pahlawan Revolusi, sehingga setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari
kesaktian Pancasila. Sejak t..m.t 21 Mei 1998, sang pancasilais sejati lengser
keprabon. Tanpa dikomando, Pancasila mengalami proses politik, disesuaikan
dengan situasi dan kondisi nasional.
UUD NRI 1945 mengalami penyesuaian diri. Kepentingan skenario politik
jangka panjang maupun sesaat diakomodir dalam pasal perubahan. Secara
konstitusional, sejarah masa depan bangsa dan negara bisa direkayasa sejak dini.
Tidak terkait dengan makar konstitusional atau menyiapkan sejak dini perubahan
mendasar NKRI nantinya. Yang dimulai dari persyaratan administrasi untk menjadi
bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden.
Atas kehendak rakyat (rakyat yang mana kiranya), entah atas ide atau skenario
terselubung siapa, akhirnya Pancasila, UUD 1945, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mental bangsa
Melayu – tak ada kaitan dengan bom bunuh diri mantan anggota di terminal bis
Kampung Melayu Jakarta – anak bangsa pewaris Pancasila, malah tidak bisa
berlaku dan melakukan laku “mikul dhuwur mendhem jero”.
Ironis
binti miris, yang terjadi dimulai dari anak ideologis, anak biologis, anak
yuridis penggali Pancasila malah bisanya “mendem”
atau mabuk. Tepatnya mabuk politik, mabuk kekuasaan, mabuk disanjung, mabuk
dipuja-puji. Merasa dirinya anak cerdas, sesuai kata penyemangat sang ayah. Karena
saat itu tidak bisa mentuntaskan kejar kuliahnya.
Untungnya,
sesuatu yang tidak Jokowi sampaikan secara tegas, yaitu bangsa ini terkenal
sebagai bangsa pemaaf. Mudah melupakan masa lalu, yang sudah ya sudah. Bangun masa
depan yang lebih beradab. Sudah dua kali dipecundangi oleh negara paling
bersahabat, masih tetap cengèngèsan. Malah menjual pulau demi pulau bangsa ini ke
investor politik. Demi sukses 2019. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar