Halaman

Senin, 29 Mei 2017

bangkit dan mandiri di atas sila-sila Pancasila yang terserak



bangkit dan mandiri di atas sila-sila Pancasila yang terserak

Bangganya presiden ketujuh RI, yang mengumbar fakta di depan kepala-negara negara yang jumlahnya penduduknya di bawah NKRI. Merdekanya setelah NKRI. Makmur dan sejahteranya tak bisa dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan NKRI. Debut sang presiden, sebelumnya belum pernah dilakukan dan terjadi sejak reformasi bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998.

Tak kurang girangnya, sang presiden berujar bahwa berkat jasa nenek moyangnya maka NKRI sebelum proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sudah menyiapkan dasar negara terlebih dahulu, yaitu : Pancasila. Tak lupa pula dijabarkan keampuhan Pancasila sampai era kepemimpinannya. Minimal hari jadi, hari lahir Pancasila 1 Juni 1945, telah ditetapkannya menjadi hari libur nasional. Suatu tindak kebijakan yang patriotik, heroik tiada tandingan oleh presiden manapun.

Selama zaman Orde Baru, Pancasila dikenal kesaktiannya dan melahirkan Pahlawan Revolusi, sehingga setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila. Sejak t..m.t 21 Mei 1998, sang pancasilais sejati lengser keprabon. Tanpa dikomando, Pancasila mengalami proses politik, disesuaikan dengan situasi dan kondisi nasional.

UUD NRI 1945 mengalami penyesuaian diri. Kepentingan skenario politik jangka panjang maupun sesaat diakomodir dalam pasal perubahan. Secara konstitusional, sejarah masa depan bangsa dan negara bisa direkayasa sejak dini. Tidak terkait dengan makar konstitusional atau menyiapkan sejak dini perubahan mendasar NKRI nantinya. Yang dimulai dari persyaratan administrasi untk menjadi bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden.

Atas kehendak rakyat (rakyat yang mana kiranya), entah atas ide atau skenario terselubung siapa, akhirnya Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mental bangsa Melayu – tak ada kaitan dengan bom bunuh diri mantan anggota di terminal bis Kampung Melayu Jakarta – anak bangsa pewaris Pancasila, malah tidak bisa berlaku dan melakukan laku “mikul dhuwur mendhem jero”.

Ironis binti miris, yang terjadi dimulai dari anak ideologis, anak biologis, anak yuridis penggali Pancasila malah bisanya “mendem” atau mabuk. Tepatnya mabuk politik, mabuk kekuasaan, mabuk disanjung, mabuk dipuja-puji. Merasa dirinya anak cerdas, sesuai kata penyemangat sang ayah. Karena saat itu tidak bisa mentuntaskan kejar kuliahnya.

Untungnya, sesuatu yang tidak Jokowi sampaikan secara tegas, yaitu bangsa ini terkenal sebagai bangsa pemaaf. Mudah melupakan masa lalu, yang sudah ya sudah. Bangun masa depan yang lebih beradab. Sudah dua kali dipecundangi oleh negara paling bersahabat, masih tetap cengèngèsan. Malah menjual pulau demi pulau bangsa ini ke investor politik. Demi sukses 2019. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar