dilema
pangan Ramadhan, harga liar vs obyek makar
Proyek resmi Pemerintah menyambut,
menyemarakkan bulan Ramadhan adalah dengan proyek abadi jalur mudik. Demi
wibawa negara, kredibilitas pemerintah di mata investor asing, maka kendali
stok, pasokan dan harga pangan diserahkan kepada kekuatan sekaligus permintaan
penentu pasar.
Di tingkat lokal, beberapa pemprov,
pemkab/pemkot mendadak peduli umat. Mengeluarkan instruksi agar hormati umat
yang tidak puasa, karena kategori atau kondisi bebas puasa.
Jam kerja siang hari dipangkas, agar
stamina, daya tahan mental tidak melorot dan kinerja jiwa terjaga sampai buka
puasa. Tempat pusat pemuas syahwat hanya buka malam hari. Bagi “pasien khusus”
dapat rekomendasi khusus untuk menyalurkan aspirasi bawahnya, dengan tarif
khusus, yang bebas pantauan awak media.
Program ketahanan pangan Jokowi-Jk
terasa terbukti manjur selama bulan Ramadhan. Kalkulasi politik praktis di atas
kertas, umat Islam yang puasa tidak akan makan-minum sejak sahur sampai buka.
Stok pangan dirasakan aman. Lebih utama lagi, kemungkinan gerakan turun ke
jalan unjuk raga, unjuk rasa, unjuk gigi atau rencana tindak makar, menjadi
berkurang drastis. Umat Islam diramalkan akan jaga mulut. Pemerintah merasa aman
dari suara rakyat. Pemerintah merasa bebas berbuat tanpa ancaman, tantangan,
hambatan, gangguan. Kecuali rayap-rayap revolusi mental yang main sikat habis
di dalam barisan.
Pemerintah punya waktu untuk mawas diri,
untuk evaluasi diri, untuk mematut diri. Konsolidasi internal untuk
mengevaluasi skenario mana saja yang masih banyak lubangnya. Untuk menimbang
pihak mana saja yang belum terpenuhi akan jasa pengorbanannya. Untuk
memprediksi langkah catur politik berikutnya. Mufakat untuk menetapka siapa
saja yang akan jadi kambing hitam revolusi mental. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar