Halaman

Kamis, 11 Mei 2017

dilema penyambung lidah rakyat, rakyat pribumi vs rakyat non-pribumi



dilema penyambung lidah rakyat, rakyat pribumi vs rakyat non-pribumi

Jabatan pasangan gubernur dan wakil gubernur memang dipilih oleh rakyat secara langsung liwat mekanisme pemilihan kepala derah (pilkada). Namun untuk praktik keindonesiaan, skala nasional maka gubernur  merupakan perpanjangan tangan Pemerintah atau presiden.

PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka daerah otonom, otonomi daerah, urusan pemerintahan, kebijaksanaan nasional sudah jelas aturan mainnya.

Ikhwal ini dilakukan sekedar dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Kendati di PP 38/2007 tidak ada penjelasan apa itu “menyejahterakan masyarakat”. Bisa diterjemahkan bebas oleh Pemerintahan daerah (adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya).

Perubahan kedua UUD NRI 1945, menambahkan kesepakatan :
Pasal 26
(2)     Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Jangan curiga sehingga untuk membuat mégaproyek nasional é-KTP malah melegitimasi tindakan mégakorupsi KTP-èlèktronik. Orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia, seolah berhak untuk mendapatkan, mempunyai KTP-èlèktronik.

Kasta, strata, kelas penduduk paling bawah, paling dasar mungkin yang disebut ‘rakyat’. Gambaran atau visualisasi rakyat lebih ke arah stigma dan konotasi dengan skala ekonomi, sosial, kesempatan serta atribut ‘negatif’ lainnya.

Perubahan ketiga UUD NRI 1945, posisi rakyat diperankan secara konstitusional, menjadi dan/atau melalui :
Pasal 1
(2)     Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Ikut terdongkrak atau memang ada niatan, ada udang di balik batu secara sebagai langkah politis wakil rakyat menjadi jabatan prestisius, bergengsi, “darah biru” baru dan menjadi penentu nasib rakyat. 

Di pasal lain, masih akibat perubahan ketiga UUD NRI 1945, daulat rakyat (bukan kuasa rakyat) dapat menentukan nasib siapa yang akan bisa jadi Presiden dan Wakil Presiden. Kita simak di Pasal 6A ayat (1) :
Pasal 6A
(1)      Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Bagaimana bentuk rasa terima kasih Presiden dan Wakil Presiden kepada rakyat yang telah memilihnya, atau kepada rakyat yang tidak memilihnya. Minimal betapa dimuliakan oknum kader parpol pengusungnya, relawan pendukung yang berani pasang badan, pemodal atau investor politik mancanegara yang dengan ahli bisa menggulirkan politik uang, pawang atau dukun pemanggil suara rakyat, serta masih banyak lagi yang hanya diketahui oleh ybs. Menyangkut kredibilitas dan hak prerogatif Presiden dan Wakil Presiden.

Jika sedekat ini ternyata Presiden dan Wakil Presiden melakukan tindak pilah kisah dan/atau pilih kasih tidak bisa dikriminalisasi, apalagi mau dipidanakan. Langkah catur politik Presiden dan Wakil Presiden sesuai perunahan keempat UUD RI. Kita simak Pasal 34 ayat (2) :
Pasal 34
(2)     Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Memang tertulis, tertera di ayat terakhirnya, yaitu ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Jadi rakyat wajib baca UU dimaksud.

Tidaklah mungkin Presiden dan Wakil Presiden akan blusukan ke semua penampungan, ke segenap lokasi tempat tinggal rakyat. Apalagi yang jauh dari ibukota NKRI.

Jokowi cukup ambil sampel yaitu rakyat yang bisa dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Khususnya rakyat yang ada di sekitarnya, rakyat yang mendatangi. Kalau perlu menjadikan rakyat sebagai tamu diundang untuk datang ke istana presiden. Sebagai bukti tindakan pro-rakyat.

Rakyat istimewa akan disambut dengan gelaran karpet merah. Jokowi tak sungkan-sungkan sambut tamu agung dengan menyediakan dirinya sebagai tukang ojek payung dan sopir pribad.

Tamu asing yang jelas-jelas sebagai investor politik akan didewa-dewakan oleh Jokowi plus/minus JK. Selanjutnya terserah pembaca.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar