dilema penyambung lidah rakyat,
rakyat pribumi vs rakyat non-pribumi
Jabatan pasangan gubernur dan wakil gubernur memang dipilih oleh rakyat
secara langsung liwat mekanisme pemilihan kepala derah (pilkada). Namun untuk
praktik keindonesiaan, skala nasional maka gubernur merupakan perpanjangan tangan Pemerintah atau
presiden.
PP 38/2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka daerah otonom, otonomi daerah, urusan
pemerintahan, kebijaksanaan nasional sudah jelas aturan mainnya.
Ikhwal ini dilakukan sekedar dalam rangka melindungi,
melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Kendati di PP 38/2007
tidak ada penjelasan apa itu “menyejahterakan masyarakat”. Bisa diterjemahkan
bebas oleh Pemerintahan daerah (adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya).
Perubahan kedua UUD NRI 1945, menambahkan kesepakatan :
Pasal 26
(2)
Penduduk ialah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Jangan curiga sehingga untuk membuat mégaproyek nasional é-KTP malah
melegitimasi tindakan mégakorupsi KTP-èlèktronik. Orang
asing yang bertempat tinggal di Indonesia, seolah berhak untuk mendapatkan,
mempunyai KTP-èlèktronik.
Kasta, strata, kelas penduduk paling
bawah, paling dasar mungkin yang disebut ‘rakyat’. Gambaran
atau visualisasi rakyat lebih ke arah stigma dan konotasi dengan skala ekonomi,
sosial, kesempatan serta atribut ‘negatif’ lainnya.
Perubahan ketiga UUD NRI 1945, posisi rakyat
diperankan secara konstitusional, menjadi dan/atau melalui :
Pasal 1
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
Ikut terdongkrak – atau memang ada niatan, ada udang di
balik batu secara sebagai langkah politis –
wakil rakyat menjadi jabatan prestisius, bergengsi, “darah biru” baru dan
menjadi penentu nasib rakyat.
Di pasal lain, masih akibat
perubahan ketiga UUD NRI 1945,
daulat rakyat (bukan kuasa rakyat) dapat menentukan nasib siapa yang akan bisa
jadi Presiden dan Wakil Presiden. Kita simak di Pasal 6A ayat (1) :
Pasal 6A
(1)
Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Bagaimana bentuk rasa terima kasih Presiden dan Wakil Presiden kepada rakyat yang telah
memilihnya, atau kepada rakyat yang tidak memilihnya. Minimal betapa dimuliakan
oknum kader parpol pengusungnya, relawan pendukung yang berani pasang badan,
pemodal atau investor politik mancanegara yang dengan ahli bisa menggulirkan
politik uang, pawang atau dukun pemanggil suara rakyat, serta masih banyak lagi
yang hanya diketahui oleh ybs. Menyangkut kredibilitas dan hak prerogatif Presiden dan Wakil Presiden.
Jika sedekat ini ternyata Presiden dan Wakil Presiden melakukan tindak pilah kisah dan/atau pilih kasih
tidak bisa dikriminalisasi, apalagi mau dipidanakan. Langkah catur politik Presiden dan Wakil Presiden sesuai perunahan keempat UUD RI.
Kita simak Pasal 34 ayat (2) :
Pasal 34
(2)
Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Memang tertulis, tertera di ayat
terakhirnya, yaitu ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Jadi rakyat wajib baca UU
dimaksud.
Tidaklah mungkin Presiden dan Wakil Presiden akan blusukan ke semua penampungan, ke segenap
lokasi tempat tinggal rakyat. Apalagi yang jauh dari ibukota NKRI.
Jokowi cukup ambil sampel yaitu rakyat yang bisa dilihat dengan mata
kepalanya sendiri. Khususnya rakyat yang ada di sekitarnya, rakyat yang
mendatangi. Kalau perlu menjadikan rakyat sebagai tamu diundang untuk datang ke
istana presiden. Sebagai bukti tindakan pro-rakyat.
Rakyat istimewa akan disambut dengan gelaran karpet merah. Jokowi tak
sungkan-sungkan sambut tamu agung dengan menyediakan dirinya sebagai tukang ojek
payung dan sopir pribad.
Tamu asing yang jelas-jelas sebagai investor politik akan didewa-dewakan
oleh Jokowi plus/minus JK. Selanjutnya terserah pembaca.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar