Halaman

Senin, 08 Mei 2017

standar ganda atau wajah ganda pilar keempat demokrasi



standar ganda atau wajah ganda pilar keempat demokrasi

Secara telinga pribadi, milik sendiri titipan dari Allah, mungkin lupa-lupa ingat pernah mendengar kalau media massa dianggap sebagai pilar keempat demokrasi, setelah trias politica : eksekutif – legislatif – yudikatif. Setelah saya cari di internet, memang ada. Cuma beda penulisan yaitu kekuatan keempat dan/atau kekuasaan keempat. Setali tiga uang.

Ingatan yang masih tersisa, ketika Bung Karno pidato, enrah acara apa. Disiarkan langsung lewat RRI Nusantara II Yogyakarta. Maklum zaman itu belum ada TV. Betapa ujaran Bung Karno yang bilang kalau PKI (partai komunis Indonesia), khususnya dengan kekuatan buruh-tani-nelayan minta dipersenjatai. Menjadi angkatan kelima setelah ABRI saat itu.

Kita wajib bersyukur, karena awak media massa tidak minta dipersenjatai.

Istilah pers, jurnalistik, media massa dan sebutan lainnya, mereka seperti saudara dekat. Pokoknya semua jenis pekerjaan yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Perang konvensional menggunakan senjata tajam, amunisi atau senjata api, mungkin sudah ketinggalan zaman. Apa saja bisa menjadi senjata. Seperti perang antar bonek. Tawuran antar anak didik, tarkam.

Asas Zionis yang berujar ringan bahwasanya siapa yang menguasai media akan menguasai dunia. Praktiknya sudah ada di NKRI.

TIK menjadi senjata yang serbaguna, multimanfaat, anekafungsi. Minimal bisa menjadi pemacu dan pemicu maraknya gerakan anti-demokrasi. pemerintah dimanapun atau pihak yang sedang berkuasa, sudah tidak alergi dengan suara media. Bahkan menjadikan pilar keempat demokrasi menjadi “anjing penjaga” baginya.

Kita harus selalu waspada karena datangnya musuh bukan dari luar. Tetapi muncul dari media penyiaran televisi di rumah sendiri. Bagi yang rajin membaca tayangan di media daring, mendsos atau sejenisnya, menambah deretan melenggang kangkungnya virus perusak peradaban.

Penjahat zaman sekarang tidak harus seperti stigma memakai topeng, wajah seram dan menyeramkan, pakai kaos bergaris hitam-putih, kekar, entha botak entah plontos. Tampilannya necis nyaris perlente. Lalu, apa guna awak media pengisi acara, adegan, atraksi di media layat kaca, yang tampak cerdas. Saking cerdasnya mereka yakin kalau pemirsa, pendengar adalah kaum bodoh. Bahkan pariwara, iklan bergambar bersuara, berujar, berkampanye bak di depan orang bodoh yang bisa dikibuli hidup-hidup.

Jangan dibilang terlebih kalau media milik orang partai yang hidupnya demi berhala reformasi 3K. Apalagi yang sedang dipelihara oleh penguasa untuk pencitraan sekaligus membungkam lawan politik atau pihak-pihak yang berseberangan atau yang dianggap atau patut diduga sebagai penghalang jalannya revolusi mental.

Senjata rakyat cuma berdoa, agar bangsa dan negara ini selamat dari malapetaka dan murka Allah. Karena masih banyak anak bangsa yang menegakkan hukum langit.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar