Monoton
ala Jokowi vs Asu Rebutan Balung
JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengkritik pola
kerja kementeriannya yang dinilai terlalu monoton dan hanya mengerjakan hal-hal
rutin.
"Kita itu terlalu linier, monoton dan
rutinitas," ujar Jokowi saat berpidato dalam acara pembukaan Rapat
Koordinasi Nasional Bidang Kemaritiman 2017 di Sasana Kriya, TMII, Jakarta
Timur, Kamis (4/5/2017).
Presiden mengingatkan jajaran menterinya
untuk meninggalkan pola kerja yang rutinitas dan monoton.
Menteri-menteri harus beralih ke pola
kerja yang penuh kompetisi, kreatif serta penuh terobosan demi kemajuan negara.
"Kita harus berani meloncat. Kalau kita
monoton terus seperti ini, ditinggal kita. Padahal kita juga pintar-pintar.
Tapi kita terlalu linier, monoton dan rutinitas saja," ujar Jokowi.
(sumber : http://nasional.kompas.com/read/2017/05/04/12284341/jokowi.kita.itu.kalau.enggak.dikerasin.sulit.berubah.)
Kendati ujaran kritik presiden Joko Widodo hanya
ditujukan kepada para pembantunya, naumun cukup menggelitik telinga dan kuping
rakyat jika mendengarkannya. Atau minimal membaca liwat media massa dan
sejenisnya. Seperti yang saya lakukan dan kerjakan sebagai sumber inspirasi
menulis.
Sudah rahasia umum kalau kementerian bekerja berdasarkan
rencana strategis 2015-2019. Anggaran yang diterima berdasarkan kemurahan hati,
keikhlasan dan kebijakan kawanan wakil rakyat di Senayan.
Dua kali perombakan cabinet kerja semakin
membuktikan kalau antar menteri terjadi drama “asu rebutan balung” alias berdebat hal yang sepele tak ada yang mau mengalah.
Acara, atraksi, adegan di layar kaca, khususnya
oleh media TV swasta uber setoran, kejar peringkat dan berbayar dengan getol
menampilkan episode “asu rebutan balung”.
Seorang menteri yang tampil sebagai bintang tamu malah jadi bulan-bulanan
kebiadaban si oknum pembawa acara, yang berlagak sok lebih pandai, lebih tahu.
Tak salah kawan jika media massa
ditempatkan sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) setelah trias politica : eksekutif, legislatif,
yudikatif.
Praktik kekuasaan dan/atau kekuatan keempat malah
menjadikan media massa sebagai sumber pemacu dan pemicu sentimen negatif rakyat,
masyarakat, penduduk dan warga negara.
Tidak salah kalau media massa yang model beginian dan begituan, hidup dari bangkai demokrasi, hidup di atas kebodohan
rakyat.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar