kedaulatan
rakyat vs kekuasaan rakyat-super
Kendati peran, kedudukan, posisi rakyat secara
konstitusional diakomodir di Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, menjadi
dan/atau melalui :
Pasal 1
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
Betul kata hati pembaca yang terusik.
Bahasa hukum bisa singkat, padat, jelas dan/atau sebaliknya atau sebagai simbol
dari lawan katanya. Satu kalimat bisa ditulis menjadi satu alenia.
Jelasnya, pada kalimat kunci “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, artinya tidak perlu dirinci,
diperinci dengan undang-undang. Kuatir kalau diperjelas dengan produk hukum
sesudah UUD, sampai bisa bunyi dan operasional, takut menjadi menjerat,
bumerang, senjata makan tuan dan bom waktu bagi pemerintah atau penguasa.
Belum sempat memahami apa yang
dimaksud dengan kata kunci “rakyat”. Apakah beda dengan
istilah penduduk, masyarakat, warga negara atau sebutan lainnya. Memang bahasa
hukum atau tepatnya adalah “orang politik punya kerja”, ada langkah antisipatif
dan proaktif dibuktikan dengan Perubahan Kedua
UUD NRI 1945, menambahkan kesepakatan :
Pasal 26
(2)
Penduduk ialah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Kasarannya, menunjukkan betapa digdayanya
bahasa politik dan hukum politik. Hakikat rakyat semakin dirancu yang secara
arah politiknya adalah selera kepentingan rakyat tingkat tinggi atau
rakyat-super. Nama boleh sama namun strata sosial jauh beda.
Di atas kertas, rakyat boleh bangga
karena eksitensinya, keberadaannya diakui dan dengan diberi Hak Konstitusi.
Bagaimana dengan praktiknya.
Rakyat menggunakan Hak Konstitusi
pada pemilu legislatif, untuk memilih atau mencoblos gambar orang, untuk
menjadi wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai nasional. Apa
lacur, caleg yang dipilih karena aturan main, tidak bisa mendapatkan kursi.
Apakah artinya rakyat pemilih, yang mungkin jmulahnya hanya ribuan, tidak bisa
mempunyai wakil rakyat. Sederhana kan kawan.
Ikut terdongkrak – atau memang ada niatan, ada udang di
balik batu secara sebagai langkah politis –
wakil rakyat menjadi jabatan prestisius, bergengsi, “darah biru” baru dan
menjadi penentu nasib rakyat.
Di pasal lain, masih akibat
Perubahan Ketiga UUD NRI 1945,
daulat rakyat (bukan kuasa rakyat) dapat menentukan nasib siapa yang akan bisa
jadi Presiden dan Wakil Presiden. Kita simak di Pasal 6A ayat (1) :
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
Bagaimana bentuk rasa terima kasih Presiden dan Wakil Presiden kepada rakyat yang telah
memilihnya, atau kepada rakyat yang tidak memilihnya. Minimal betapa dimuliakan
oknum kader parpol pengusungnya, relawan pendukung yang berani pasang badan,
pemodal atau investor politik mancanegara yang dengan ahli bisa menggulirkan
politik uang, pawang atau dukun pemanggil suara rakyat, serta masih banyak lagi
yang hanya diketahui oleh ybs. Menyangkut kredibilitas dan hak prerogatif Presiden dan Wakil Presiden.
Sejarah peradaban pekerja politik
yang sedang kontrak politik sebagai presiden, entah tekanan, bisikan, scenario
apa sehingga menempatkan rakyat masuk kategori permanent underclass, uneducated
people serta sederet predikat, stigma, atau pencitraan.
Jangan ditafsirkan jika ternyata
nyatanya di Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD NRI 1945, sebagai permainan politik tingkat tinggi.
Semua pihak yangberkepntingan mencari “alat pengaman” sekaligus “alat pemukul”.
Salah fatal bisa kita simak, lacak
di Perubahan Ketiga UUD NRI 1945,
dengan hasil Pasal 6 ayat (1) :
Pasal 6
(1)
Calon Presiden dan calon Wakil
Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Kalimat kunci “tidak pernah mengkhianati negara” jangan ditakar, direka yasa atau diterawang dengan kadar
moral atau memakai kaidah bahasa agama. Karena sebagai bahasa hukum sekaligus
bahasa politik, maka wajib dicerna dengan bahasa dan hukum yang sama.
Sejauh ini NKRI tidak mempunyai
musuh, lawan, seteru yang disebut atau dalam bentuk negara. Hubungan dengan
negara tetangga baik-baik saja. Bahkan NKRI mempunyai hubungan diplomatik yang
sangat mesra – serta dioplos dengan aneka hubungan gelap, hubungan tanpa ikatan,
hubungan tidak wajar, hubungan resmi tapi tidak sah – dengan negara paling
bersahabat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar