Halaman

Selasa, 23 Mei 2017

kedaulatan rakyat vs kekuasaan rakyat-super



kedaulatan rakyat vs kekuasaan rakyat-super

Kendati peran, kedudukan, posisi rakyat secara konstitusional diakomodir di Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, menjadi dan/atau melalui :
Pasal 1
(2)     Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Betul kata hati pembaca yang terusik. Bahasa hukum bisa singkat, padat, jelas dan/atau sebaliknya atau sebagai simbol dari lawan katanya. Satu kalimat bisa ditulis menjadi satu alenia.

Jelasnya, pada kalimat kunci “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, artinya tidak perlu dirinci, diperinci dengan undang-undang. Kuatir kalau diperjelas dengan produk hukum sesudah UUD, sampai bisa bunyi dan operasional, takut menjadi menjerat, bumerang, senjata makan tuan dan bom waktu bagi pemerintah atau penguasa.

Belum sempat memahami apa yang dimaksud dengan kata kunci “rakyat”. Apakah beda dengan istilah penduduk, masyarakat, warga negara atau sebutan lainnya. Memang bahasa hukum atau tepatnya adalah “orang politik punya kerja”, ada langkah antisipatif dan proaktif dibuktikan dengan Perubahan Kedua UUD NRI 1945, menambahkan kesepakatan :
Pasal 26
(2)     Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Kasarannya, menunjukkan betapa digdayanya bahasa politik dan hukum politik. Hakikat rakyat semakin dirancu yang secara arah politiknya adalah selera kepentingan rakyat tingkat tinggi atau rakyat-super. Nama boleh sama namun strata sosial jauh beda.

Di atas kertas, rakyat boleh bangga karena eksitensinya, keberadaannya diakui dan dengan diberi Hak Konstitusi. Bagaimana dengan praktiknya.

Rakyat menggunakan Hak Konstitusi pada pemilu legislatif, untuk memilih atau mencoblos gambar orang, untuk menjadi wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai nasional. Apa lacur, caleg yang dipilih karena aturan main, tidak bisa mendapatkan kursi. Apakah artinya rakyat pemilih, yang mungkin jmulahnya hanya ribuan, tidak bisa mempunyai wakil rakyat. Sederhana kan kawan.

Ikut terdongkrak atau memang ada niatan, ada udang di balik batu secara sebagai langkah politis wakil rakyat menjadi jabatan prestisius, bergengsi, “darah biru” baru dan menjadi penentu nasib rakyat. 

Di pasal lain, masih akibat Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, daulat rakyat (bukan kuasa rakyat) dapat menentukan nasib siapa yang akan bisa jadi Presiden dan Wakil Presiden. Kita simak di Pasal 6A ayat (1) :
Pasal 6A
(1)      Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Bagaimana bentuk rasa terima kasih Presiden dan Wakil Presiden kepada rakyat yang telah memilihnya, atau kepada rakyat yang tidak memilihnya. Minimal betapa dimuliakan oknum kader parpol pengusungnya, relawan pendukung yang berani pasang badan, pemodal atau investor politik mancanegara yang dengan ahli bisa menggulirkan politik uang, pawang atau dukun pemanggil suara rakyat, serta masih banyak lagi yang hanya diketahui oleh ybs. Menyangkut kredibilitas dan hak prerogatif Presiden dan Wakil Presiden.

Sejarah peradaban pekerja politik yang sedang kontrak politik sebagai presiden, entah tekanan, bisikan, scenario apa sehingga menempatkan rakyat masuk kategori permanent underclass, uneducated people serta sederet predikat, stigma, atau pencitraan.

Jangan ditafsirkan jika ternyata nyatanya di Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD NRI 1945, sebagai permainan politik tingkat tinggi. Semua pihak yangberkepntingan mencari “alat pengaman” sekaligus “alat pemukul”.

Salah fatal bisa kita simak, lacak di Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dengan hasil Pasal 6 ayat (1) :
Pasal 6
(1)      Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Kalimat kunci “tidak pernah mengkhianati negara” jangan ditakar,  direka yasa atau diterawang dengan kadar moral atau memakai kaidah bahasa agama. Karena sebagai bahasa hukum sekaligus bahasa politik, maka wajib dicerna dengan bahasa dan hukum yang sama.

Sejauh ini NKRI tidak mempunyai musuh, lawan, seteru yang disebut atau dalam bentuk negara. Hubungan dengan negara tetangga baik-baik saja. Bahkan NKRI mempunyai hubungan diplomatik yang sangat mesra – serta dioplos dengan aneka hubungan gelap, hubungan tanpa ikatan, hubungan tidak wajar, hubungan resmi tapi tidak sah – dengan negara paling bersahabat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar