Halaman

Rabu, 24 Mei 2017

Mendewasakan Anak



Mendewasakan Anak

Setiap keluarga, rumah tangga tentu mendambakan agar anaknya bisa tumbuh kembang sampai dewasa. Harapan besarnya bisa melihat anaknya sampai berkeluarga, meneruskan garis keturunannya. Orangtua ingin menikmati masa tuanya dengan momong cucu atau MC. Masih ada yang sibuk dengan usaha “ternak teri” nganter anak dan/atau nganter isteri.

Merubah nasib, memperbaiki keturunan, meningkatkan derajat keluarga adalah alasan klasik mengapa seseorang menikah, ber-rumah tangga, berkeluarga. Untuk itu melakukan ikhtiar pilah-pilih saat mencari jodoh. Dari pihak perempuan, juga memiliki konsep, resep dan strategi untuk menentukan pilihannya.

Tak kurang pasangan suami isteri (pasutri) sebelum menikah sudah merancang masa depannya. Pengalaman hidup saat masih bujang, saat masih ikut orangtua menjadi acuan masing-masing yang dipadukan, dikompromikan. Kiat, jurus, tips, tak-tik mana yang akan diambil, tergantung apakah sang isteri akan sebagai ibu rumah tangga atau akan melakoni hidup sebagai wanita karier.

Sejak kelahiran anak pertama, pasutri merasa lega. Rencana awal sudah terlaksana. Atau bahkan ada yang niat sebelum ber-rumah tangga, berusaha mempunyai rumah tinggal pribadi. Ikut “pondok mertua indah” sebagai batu loncatan, sambil menabung.

Kewajiban awal sebagai orangtua mulai dipenuhi. Memberi nama anak dengan nama yang baik, minimal bermakna baik dan membawa berkah bagi kehidupannya. Ibu sebagai madrasah awal dan sekolah pertama bagi anaknya sudah berjalan sesuai skenario.

Bagaimana langkah selanjutnya. Akankah diserahkan ke perkembangan keadaan. Disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Nanti dulu. Kita mempunyai acuan utama. Salah satunya adalah dengan menyimak riwayat kehidupan nabi Sulaiman a.s. Kisah keteladanan nabi Ibrahim dengan puteranya yang diabadikan di Al-Qur’an (QS Ash Shaaffaat [37] : 102) :  
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Tampak bagaimana nabi Sulaiman memposisikan anaknya yang sudah umur sanggup, untuk diajak diskusi, dimintai pendapat. Tersurat dan tersirat pada “Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"

Ayat ini sebagai rangkaian dari peristiwa yang kemudian menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari Raya Haji. Zaman berikutnya, Allah swt mengutus seorang Rasul dari keturunan Ismail yang membangun umat yang adil dan pilihan, yaitu Nabi Muhammad saw.

Mendidik anak adalah menyiapkan generasi masa depan. Terkadang kita harus mampu mendidikan dengan pola generasi yang akan datang. Kisah di atas, yang tak lekang dimakan zaman, sebagai salah satu acuan atau rujukan utama. Khususnya bagaimana kita mendewasakan anak.

Dewasanya anak bukan karena faktor usia. Kematangan jiwa yang bisa ditangani sejak dini. Ibu sebagai peletak dasar jiwa anak, diimbangi peran ayah yang memberi wawasan. Cara sederhana dengan mengajak anak berdialog. Bukan sekedar melatih berbicara, tetapi sudah mulai asah otak, akal, logika, nalar. Merangsang anak berani mengungkapkan pendapatnya, isi hatinya.

Karena sayang anak, tak sengaja orangtua terlalu memprotek anak. Banyak larangan yang keluar dari mulut orangtua, tanpa disertai kenapanya. Anak hanya menelan dan mencerna utuh, kalau dilarang atau tidak boleh, memang demikian. Tidak tahu ujung pangkalnya.

Jadikan anak jadi lawan bicara, teman diskusi, mitra tukar pendapat. Seperti nabi Ibrahim meminta pendapat anaknya. Bukan sekedar main suruh, kendati perintah Allah lewat mimpi. Saling membangun kepercayaan masih dibutuhkan, terlebih di era yang seolah-olah tanpa batas geografis, otonomi, ekonomi, dan budaya masyarakat (borderless world).

Bukannya mempercepat anak agar menjadi dewasa, semacam dikarbit, tetapi memanfaatkan waktu temu orangtua dengan anak lebih berdaya guna dan berhasil guna. Kesibukan kerja jangan jadi alasan berkurangnya waktu kumpul keluarga. Ditunjang kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tidak ada alasan anak jadi “jauh” dengan orangtuanya. Atau orangtua merasa “dijauhi” anak. Tak jarang anak zaman sekarang, pada usia sanggup, sudah berani melawan orangtua. Galakan anaknya.

Kenyataan lain, ayah, isteri dan anak masing-masing sibuk dengan produk TIK atau malah jadi korban TIK. TIK yang mendahului dan melebih daya dukung dan daya tampung mental manusia, bukannya bebas efek domino. Seolah semua umat manusia hidup dalam satu kampung dunia, kampung global, istilah kerennya : Global Village.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar