Mendewasakan
Anak
Setiap keluarga, rumah tangga tentu mendambakan agar
anaknya bisa tumbuh kembang sampai dewasa. Harapan besarnya bisa melihat
anaknya sampai berkeluarga, meneruskan garis keturunannya. Orangtua ingin
menikmati masa tuanya dengan momong cucu atau MC. Masih ada yang sibuk dengan
usaha “ternak teri” nganter anak
dan/atau nganter isteri.
Merubah nasib, memperbaiki keturunan, meningkatkan
derajat keluarga adalah alasan klasik mengapa seseorang menikah, ber-rumah
tangga, berkeluarga. Untuk itu melakukan ikhtiar pilah-pilih saat mencari
jodoh. Dari pihak perempuan, juga memiliki konsep, resep dan strategi untuk
menentukan pilihannya.
Tak kurang pasangan suami isteri (pasutri) sebelum
menikah sudah merancang masa depannya. Pengalaman hidup saat masih bujang, saat
masih ikut orangtua menjadi acuan masing-masing yang dipadukan, dikompromikan.
Kiat, jurus, tips, tak-tik mana yang akan diambil, tergantung apakah sang
isteri akan sebagai ibu rumah tangga atau akan melakoni hidup sebagai wanita
karier.
Sejak kelahiran anak pertama, pasutri merasa lega.
Rencana awal sudah terlaksana. Atau bahkan ada yang niat sebelum ber-rumah
tangga, berusaha mempunyai rumah tinggal pribadi. Ikut “pondok mertua indah”
sebagai batu loncatan, sambil menabung.
Kewajiban awal sebagai orangtua mulai dipenuhi. Memberi
nama anak dengan nama yang baik, minimal bermakna baik dan membawa berkah bagi
kehidupannya. Ibu sebagai madrasah awal dan sekolah pertama bagi anaknya sudah
berjalan sesuai skenario.
Bagaimana langkah selanjutnya. Akankah diserahkan ke
perkembangan keadaan. Disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Nanti
dulu. Kita mempunyai acuan utama. Salah satunya adalah dengan menyimak riwayat
kehidupan nabi Sulaiman a.s. Kisah keteladanan nabi Ibrahim dengan puteranya
yang diabadikan di Al-Qur’an (QS Ash Shaaffaat [37] : 102) :
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar."
Tampak bagaimana nabi Sulaiman memposisikan anaknya yang
sudah umur sanggup, untuk diajak diskusi, dimintai pendapat. Tersurat dan
tersirat pada “Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!"
Ayat ini sebagai rangkaian dari peristiwa yang kemudian
menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari Raya Haji. Zaman
berikutnya, Allah swt mengutus
seorang Rasul dari keturunan Ismail yang membangun umat yang adil dan pilihan,
yaitu Nabi Muhammad saw.
Mendidik anak
adalah menyiapkan generasi masa depan. Terkadang kita harus mampu mendidikan
dengan pola generasi yang akan datang. Kisah di atas, yang tak lekang dimakan
zaman, sebagai salah satu acuan atau rujukan utama. Khususnya bagaimana kita
mendewasakan anak.
Dewasanya anak
bukan karena faktor usia. Kematangan jiwa yang bisa ditangani sejak dini. Ibu sebagai
peletak dasar jiwa anak, diimbangi peran ayah yang memberi wawasan. Cara sederhana
dengan mengajak anak berdialog. Bukan sekedar melatih berbicara, tetapi sudah
mulai asah otak, akal, logika, nalar. Merangsang anak berani mengungkapkan
pendapatnya, isi hatinya.
Karena sayang anak,
tak sengaja orangtua terlalu memprotek anak. Banyak larangan yang keluar dari
mulut orangtua, tanpa disertai kenapanya. Anak hanya menelan dan mencerna utuh,
kalau dilarang atau tidak boleh, memang demikian. Tidak tahu ujung pangkalnya.
Jadikan anak jadi lawan
bicara, teman diskusi, mitra tukar pendapat. Seperti nabi Ibrahim meminta
pendapat anaknya. Bukan sekedar main suruh, kendati perintah Allah lewat mimpi.
Saling membangun kepercayaan masih dibutuhkan, terlebih di era yang seolah-olah tanpa
batas geografis, otonomi, ekonomi, dan budaya masyarakat (borderless world).
Bukannya mempercepat anak agar menjadi dewasa, semacam dikarbit, tetapi
memanfaatkan waktu temu orangtua dengan anak lebih berdaya guna dan berhasil
guna. Kesibukan kerja jangan jadi alasan berkurangnya waktu kumpul keluarga. Ditunjang
kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tidak ada alasan anak
jadi “jauh” dengan orangtuanya. Atau orangtua merasa “dijauhi” anak. Tak jarang
anak zaman sekarang, pada usia sanggup, sudah berani melawan orangtua. Galakan anaknya.
Kenyataan lain,
ayah, isteri dan anak masing-masing sibuk dengan produk TIK atau malah jadi
korban TIK. TIK yang mendahului dan melebih daya dukung dan daya tampung mental
manusia, bukannya bebas efek domino. Seolah semua umat manusia hidup dalam satu
kampung dunia, kampung global, istilah kerennya : Global Village. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar