Menakar Nilai Tukar Bangsa Indonesia
Setelah tarikan nafas pertama, yang panjang, liwat hidung
sendiri. Kita buka sisa memori kehidupan sebagai rakyat, yang masih melekat di
benak kita. Yang pertama kali melintas, tap pakai lama, tangkap dan interograsi
secara seksama.
Bukan lelucon politik apalagi trik politik. Langsung di
benak nongol tentang kisah kopi. Kalau mau minum kopi, beli kopi yang masih
dalam bentuk biji. Cium aromanya. Jangan ragu atau sangsi, jangan bandingkan
dengan pernah adanya beras sintetis.
Betapa seorang
orang suku Aceh yang menuntut ilmu, menimba ilmu sekaligus mengkais rezeki-Nya
di pulau seberang. Berkibar sebagai ustadz dan imam tetap di sebuah masjid
milik pemerintah (maksudnya masjid yang berlokasi di kampus kementerian).
Promosi tak langsung betapa aroma wangi kopi Aceh
sedemikan rupoa, sulit dibilang dengan ucapan cerdas. Sebelum minum, membau uap
atau kepulan aroma panasnya air kopi, seperti sudah “kenyang”. Malah seperti sayang
kalau diminum. Cukup dibau-bau saja. Sebelum air kopi dihirup, hiruplah terlebih
dahulu aroma uapnya sampai puas.
Promosi cerdas lanjutan, bahkan ujar riang yang empunya
pengalaman, usai mendekam di kamar kecil. Aroma kopi Aceh masih menyengat
hidung sendiri, mengalahkan aroma “barang bekas/buangan”. Belum ada info,
bagaimana bau kentut peminum kopi Aceh. Apakah ada syarat politis, minimal
sehari berapa cangkir, sehingga layak dan patuh sebagai petugas partai.
Kesimpulan yang bukan kesepakatan, adalah bagaimana kalau
yang kita hirup setiap saat adalah aroma irama politik antara atau perpaduan
dari kentut politik dengan paket tinja berkualitas impor. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar