Halaman

Rabu, 10 Mei 2017

Menakar Nilai Tukar Bangsa Indonesia



Menakar Nilai Tukar Bangsa Indonesia

Setelah tarikan nafas pertama, yang panjang, liwat hidung sendiri. Kita buka sisa memori kehidupan sebagai rakyat, yang masih melekat di benak kita. Yang pertama kali melintas, tap pakai lama, tangkap dan interograsi secara seksama.

Bukan lelucon politik apalagi trik politik. Langsung di benak nongol tentang kisah kopi. Kalau mau minum kopi, beli kopi yang masih dalam bentuk biji. Cium aromanya. Jangan ragu atau sangsi, jangan bandingkan dengan pernah adanya beras sintetis.

 Betapa seorang orang suku Aceh yang menuntut ilmu, menimba ilmu sekaligus mengkais rezeki-Nya di pulau seberang. Berkibar sebagai ustadz dan imam tetap di sebuah masjid milik pemerintah (maksudnya masjid yang berlokasi di kampus kementerian).

Promosi tak langsung betapa aroma wangi kopi Aceh sedemikan rupoa, sulit dibilang dengan ucapan cerdas. Sebelum minum, membau uap atau kepulan aroma panasnya air kopi, seperti sudah “kenyang”. Malah seperti sayang kalau diminum. Cukup dibau-bau saja. Sebelum air kopi dihirup, hiruplah terlebih dahulu aroma uapnya sampai puas.

Promosi cerdas lanjutan, bahkan ujar riang yang empunya pengalaman, usai mendekam di kamar kecil. Aroma kopi Aceh masih menyengat hidung sendiri, mengalahkan aroma “barang bekas/buangan”. Belum ada info, bagaimana bau kentut peminum kopi Aceh. Apakah ada syarat politis, minimal sehari berapa cangkir, sehingga layak dan patuh sebagai petugas partai.

Kesimpulan yang bukan kesepakatan, adalah bagaimana kalau yang kita hirup setiap saat adalah aroma irama politik antara atau perpaduan dari kentut politik dengan paket tinja berkualitas impor. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar