Halaman

Senin, 01 Mei 2017

19 April 2017, Hari Kebangkitan Masyarakat Demokratis



19 April 2017, Hari Kebangkitan Masyarakat Demokratis

Perjalanan sejarah peradaban ideologi dan/atau politik yang dianut dan dipraktikkan oleh anak bangsa Indonesia memang selalu mengalami pasang surut. Musuh nyata yang masih bercokol di depan mata pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 adalah “nasib kurang beruntung”.

Semangat ingin merdeka dibuktikan dengan perjuangan dan pengorbanan jiwa raga, sejak jaman penjajahan VOC/Belanda. Mental sebagai bangsa terjajah, atau tepatnya mental yang siap disuapi, dicekoki oleh penjajah agar merasa sebagai bangsa budak, tetap atau menjadi benang merah mental anak bangsa sampai kondisi terkini.

Prestasi reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998, ketika presiden kedua RI menyatakan diri mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai presiden. Demokrasi Indonesia bergerak bebas, sesuai permintaan pasar, tantangan zaman, serta selera siap yang kuat, kaya, kuasa akan menang. Penyembah berhala reformasi 3 K (kaya, kuat, kuasa) muncul sampai pojok, sudut, tepi Nusantara.

Mental rendah diri masih mendominasi pergerakan politik nasional. Diimbangi dengan rasa merasa bisa, bahkan merasa bisa berdiri paling depan sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, presiden. Sejarah juga membuktikan banyak anak bangsa mendadak kesohor namun tidak kuat derajat.

Nasib kurang beruntung bisa menimpa kelompok masyarakat, penduduk atau warga negara dari aspek ekonomi, sosial. Keberhasilan pembangunan ditandai dengan maraknya daerah kurang beruntung. Sumber daya alam yang melimpah namun tak jelas ke pihak mana luberannya. Surplus sumber daya manusia politik yang berebut kursi dan rezeki dengan jiwa dan semangat otonomi daerah. Nasib berbeda pada daerah pemilihan (dapil) jika wakil wakil rakyatnya, memang betul-betul bekerja sesuai janji kampanye. Sehingga tidak diperlukan revolusi mental.

Wujud nyata  demokrasi Indonesia menjadi abu-abu. Demokrasi perwakilan tanpa perantara, hanya sebatas formulasi di atas kertas. Demokrasi tanpa perantara melalui sistem perwakilan hanya sekedar hasil kajian akademis. Kepala daerah, yaitu bupati/walikota dan gubernur serta kepala negara dipilih langsung oleh rakyat yang sudah mempunyai hak pilih. Betapa suara rakyat diposisikan sebagai faktor penentu keberhasilan pesta demokrasi. Suara rakyat dihargai yang berakibat membengkaknya biaya politik. Asas “nomer piro wani piro” sebagai praktik jual beli suara yang tidak bisa dipidanakan.

Nilai moral adiluhung bangsa dan rakyat Indonesia memahami serta meyakini, bahwa kebangkitan masyarakat demokrasi harus dimulai dari kebangkitan akhlak. Mereka meramu, merakit serta mengeterapkan / menerapkan sebuah asumsi sederhana dan mendasar, "Jika setiap individu, keluarga memiliki akhlak yang baik, maka lingkungan masyarakat pun akan menjadi baik. Kebangkitan atau kemunduran masyarakat sangat ditentukan oleh fluktuasi akhlaknya."

Saat kampanye pesta demokrasi, oknum petugas, penyuka, penggila, pelaku, penggiat partai politik, tidak mempersoalkan apakah rakyat akan terbelah, retak. Mereka paham luar kepala bagaimana bisa menang secara meyakinkan. Bagaimana saling melibas lawan politik atau persaingan internal di tubuh partai.

Puncak kebrutalan kawanan parpolis terjadi di pilkada atau pilgub DKI Jakarta 2017. Bukan sekedar pekerjaan lokal, tapi sudah melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Skenario asing pun menjadi acuan utama sukses pilkada DKI Jakarta. Tak urung, presiden pun ikut tindak turun tangan agar jagonya terpilih secara aklamasi.

Gonjang-ganjing politik sudah menunjukkan siaga terakhir. Pasal makar sudah disiapkan secara sistematis, masif dan menerus oleh aparat keamanan. Investor politik dari negara paling bersahabat sudah mati-matian pasang badan dan siap dana yang menggiurkan.

Tidak salah, manusia merupakan salah satu faktor atau unsur, elemen penyusun, pembentuk masyarakat. Perubahan manusia atau kebangkitan manusia secara individu tidak secara otomatis menyebabkan perubahan masyarakat maupu  kebangkitan masyarakat. Karena faktor pemikiran sesuai aturan yang diterapkan, maka perubahan dan/atau kebangkitan manusia melawan kemungkatan penguasa, akan menjadi pemacu dan pemicu kesadaran akan arti hakikat sebagai manusia bebas.

Rangkaian berbagai kejadian yang sudah terjadi sampai putaran kedua pilkada DKI Jakarta, Rabu 19 April 2017, malah sebagai bahan baku, sebagai pembangkit, pengungkit semangat “Indonesia untuk Indonesia”, sebagai kawah Candradimuka yang melahirkan kelompok masyarakat demokratis. Masyarakat semakin sadar politik. Sebesar berapan biaya politik, tak akan mampu menjadikan rakyat mengkhianati hati nuraninya.

Rakyat pemilih menggunakan hak pilih dengan pertimbangan akal sehat, saringan hati nurani tentunya dengan tujuan mendapatkan pimpinan yang mampu mewakili dirinya sendiri serta mampu menjembatani kebutuhan dan kepentingan masyarakat, penduduk atau warga negara ibukota negara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar