Pagar Makan Tanaman vs Pagar Cinta Rupiah
Patut diduga, layak disangka, pantas dituduh, wajar
dianggap, laik didakwa karena penghayatan dan pengamalan Pancasila atau
pendidikan Pancasila tersingkir secara pelan tapi pasti, berdampak pada
minimnya budi pekerti anak bangsa. Akumulasinya atau efek dominonya, bangsa ini
seperti mendapatkan atau tepatnya seperti terpaksa mengunyah ideologi
entah-berantah.
Merasakan bahwa ideologi versi anyar, mutakhir tak
asing di lidah, bibir, mulut dan kerongkongan hak milik sendiri. Kemasannya memang
atraktif, spektakuler, penuh dengan penjelasan bergambar, komposisi bahan baku,
cara penggunaannya, efek berantai dan waktu edar.
Pahit getir masih dirasakan oleh generasi penerus
yang dibiarkan mengembara dalam gulita politik. Demi HAM serta martabat politik
dalam kemajemukan, maka terjadilah politik rékonsiliasi. Proses peradaban ideologi atau politik Nusantara secara tak sengaja, di
luar skenario besar, jauh dari jangkauan akal, nalar, logika politik turun-temurun
malah melahirkan generasi
medsos (media sosial).
Generasi atau régenerasi
yang terjadi bukanmengalir secara linier, tetapi berjalan tumpang tindih, paralel,
sinergitas serta diwarnai modus saling menjagal dan menjegal. Antar generasi
sebagai hasil rekayasa politis menghasilkan bentuk generasi “sewajah tapi tak
serupa”. Sama kemasan, format mirip, tongkrongan menujukkan identitas atau
karakter manusia politik yang haus kuasa.
Indikator utama generasi
medsos adalah penyuka bahasa politik, simbol politik yang serba aneka hoax atau “moral tanpa moral”. Saya cuplik tayangan lama, yaitu TIK menjadi senjata
yang serbaguna, multimanfaat, anekafungsi. Minimal bisa menjadi pemacu dan
pemicu maraknya gerakan anti-demokrasi. Pemerintah dimanapun atau pihak yang
sedang berkuasa, sudah tidak alergi dengan suara media. Bahkan menjadikan pilar
keempat demokrasi menjadi “anjing penjaga” baginya.
Rékonsiliasi menjadi sangat penting dalam proses menjadi manusia
politik seutuhnya, total, luar-dalam dan
kedap-kedip. Bukan sejadi-jadinya, asal sudah mendapat mandate dan restu oknum
ketua umum sebuah partai politik. Pemerintah tidak wajib mengakomodir “pengalaman
politik” anak bangsa, apalagi ada forum untuk
memberi wadah dan kesempatan berbicara.
Malah yang muncul uneg-uneg dari pihak yang merasa dizalimi oleh lawan
politik, sehingga dianya teraniaya selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014.
Terpaksa mendekam di bangku cadangan. Duduk manis, melipat tangan, goyang kaki
dan hidup sederhana sambil angan-angan politiknya mengembara bebas.
“Bukan salah bunda mengandung” atau salah pihak yang tak mau bertangung jawab atau
mengakui sebagai ayah ideologis. Begitulah terjadinya. Generasi Medsos seolah
cuèk bèbèk, tidak mau tahu dan memang tidak pernah tahu.
Indikator politik
Generasi Medsos yang tidak pandang bulu dan jenis kelamin, adalah rasa ideologi yang jauh dari rasa bertanggung jawab terhadap kedaulatan dan
wibawa negara, keutuhan wilayah,
keselamatan bangsa, harga diri pemerintah di mata dunia dan persatuan
nasional.
Ingat semboyan politik
Bung Karno, sekejam-kejam revolusi (mental) tak akan makan anak kandungnya
sendiri. Tak akan mengorbankan generasi yang belum lahir. Atau Generasi Medsos
sebagai cikal bakal generasi yang akan datang, yang sudah jelas identitas politiknya.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar