Halaman

Jumat, 12 Mei 2017

Pagar Makan Tanaman vs Pagar Cinta Rupiah



Pagar Makan Tanaman vs Pagar Cinta Rupiah

Patut diduga, layak disangka, pantas dituduh, wajar dianggap, laik didakwa karena penghayatan dan pengamalan Pancasila atau pendidikan Pancasila tersingkir secara pelan tapi pasti, berdampak pada minimnya budi pekerti anak bangsa. Akumulasinya atau efek dominonya, bangsa ini seperti mendapatkan atau tepatnya seperti terpaksa mengunyah ideologi entah-berantah.

Merasakan bahwa ideologi versi anyar, mutakhir tak asing di lidah, bibir, mulut dan kerongkongan hak milik sendiri. Kemasannya memang atraktif, spektakuler, penuh dengan penjelasan bergambar, komposisi bahan baku, cara penggunaannya, efek berantai dan waktu edar.

Pahit getir masih dirasakan oleh generasi penerus yang dibiarkan mengembara dalam gulita politik. Demi HAM serta martabat politik dalam kemajemukan, maka terjadilah politik rékonsiliasi. Proses peradaban ideologi atau politik Nusantara secara tak sengaja, di luar skenario besar, jauh dari jangkauan akal, nalar, logika politik turun-temurun malah melahirkan generasi medsos (media sosial).  

Generasi atau régenerasi yang terjadi bukanmengalir secara linier, tetapi berjalan tumpang tindih, paralel, sinergitas serta diwarnai modus saling menjagal dan menjegal. Antar generasi sebagai hasil rekayasa politis menghasilkan bentuk generasi “sewajah tapi tak serupa”. Sama kemasan, format mirip, tongkrongan menujukkan identitas atau karakter manusia politik yang haus kuasa.

Indikator utama generasi medsos adalah penyuka bahasa politik, simbol politik yang serba aneka hoax atau “moral tanpa moral”. Saya cuplik tayangan lama, yaitu TIK menjadi senjata yang serbaguna, multimanfaat, anekafungsi. Minimal bisa menjadi pemacu dan pemicu maraknya gerakan anti-demokrasi. Pemerintah dimanapun atau pihak yang sedang berkuasa, sudah tidak alergi dengan suara media. Bahkan menjadikan pilar keempat demokrasi menjadi “anjing penjaga” baginya.

Rékonsiliasi menjadi sangat penting dalam proses menjadi manusia politik seutuhnya,  total, luar-dalam dan kedap-kedip. Bukan sejadi-jadinya, asal sudah mendapat mandate dan restu oknum ketua umum sebuah partai politik. Pemerintah tidak wajib mengakomodir “pengalaman politik” anak bangsa, apalagi ada forum  untuk memberi wadah dan kesempatan berbicara.  

Malah yang muncul uneg-uneg dari pihak yang merasa dizalimi oleh lawan politik, sehingga dianya teraniaya selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014. Terpaksa mendekam di bangku cadangan. Duduk manis, melipat tangan, goyang kaki dan hidup sederhana sambil angan-angan politiknya mengembara bebas.

Bukan salah bunda mengandung” atau salah pihak yang tak mau bertangung jawab atau mengakui sebagai ayah ideologis. Begitulah terjadinya. Generasi Medsos seolah cuèk bèbèk, tidak mau tahu dan memang tidak pernah tahu.

Indikator politik Generasi Medsos yang tidak pandang bulu dan jenis kelamin,  adalah rasa ideologi yang jauh dari rasa  bertanggung jawab terhadap kedaulatan dan wibawa negara, keutuhan wilayah,  keselamatan bangsa, harga diri pemerintah di mata dunia dan persatuan nasional.

Ingat semboyan politik Bung Karno, sekejam-kejam revolusi (mental) tak akan makan anak kandungnya sendiri. Tak akan mengorbankan generasi yang belum lahir. Atau Generasi Medsos sebagai cikal bakal generasi yang akan datang, yang sudah jelas identitas politiknya.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar