Indonesia
Susah Hidup Tapi Panjang Hidup
Kata “manusia politik, manusia ekonomi dan manusia
sosial” dicantumkan di RPJMN entah periode kapan.
Biasa, wajar, normal kalau sejak dari orangtuanya, apakah
sang ayah atau sang ibu, punya tradisi keilmuan, maka anaknya mampu
menyelesaikan studi sampai bangku perguruan tinggi. Sejalan dengan budaya
mempertahankan klasemen puncak, terjadi rasa puas diri. Merasa bisa hidup
layak, sebagai kepala keluarga, dengan andalan ijazah SMA dan/atau yang
sederajat. Ketika sang anak lulus SMA. Maka kewajiban memberi pendidikan kepada
anaknya, dirasa sudah cukup. Nasib selanjutnya tinggal menyalahkan kemampuan
finasial ataukah kemampuan akademis.
Kehidupan tradisi keilmuan keluarga mulai meningkat, atau
bergerak naik beberapa digit, jika sang anak mampu menyelesaikan pendidikan
tingginya di luar NKRI. Bukan prestis, karena memang sudah tuntutan dan
tantangan zaman. Terlebih bagi anak bangsa yang menuntut ilmu agama, menimba
ilmu sampai ke sumber datangnya sang pembawa riwayat, amanah, pembawa SK dari
langit. Alumni kampus luar negeri tidak sekedar gengsi atau menjanjikan.
Persaingan antar penduduk, masyarakat, warga negara di grup ASEAN, sudah tidak
bisa dianggap dan ditanggapi dengan santai, ringan dan semua urusan bisa
diatur.
Kewajaran ketiga (mana yang pertama dan kedua), bayangkan
terjadi kondisi yang aktual dan faktual,
bahwa hubungan antar manusia seolah tanpa batas dan kendala waktu, ruang maupun jarak.
Berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang mendahului
dan melebih daya dukung dan daya tampung mental manusia. Seolah semua umat manusia
hidup dalam satu kampung dunia, kampung global, istilah kerennya : Global Village.
Kehidupan masyarakat semakin menyatu dengan pola konektivitas
yang semakin erat, semakin lekat, semakin terikat dalam tatatanan dan norma kehidupan
baru. Wilayah yurisdiksi negara menjadi kabur, yang ada seolah-olah tanpa batas
geografis, otonomi, ekonomi, dan budaya masyarakat (borderless world).
Jadi, kalau anak bangsa dengan garis keturunan, warisan
ideologi, silsilah bangsawan, nasib baik dari sono-nya, yang di atas rata-rata nasional, secara politis,
misalnya. Mampu mengadu nasib di negeri orang – semacam TKW – artinya sebagai
wajar ketiga. Rasanya arah tulisan jadi melenceng, tak jelas arah dan tujuan
berpolitik.
Pendidikan politik dan kurikulum politik Nusantara hanya
melahirkan kawanan politikus, parpolis klas jago kandang. Ciri utama, karakter
khasnya adalah garang garing. Tidak pandang bulu dan gender. Banyak yang masih
hidup tapi mati di hati rakyat.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar