Halaman

Selasa, 23 Mei 2017

Indonesia Susah Hidup Tapi Panjang Hidup



Indonesia Susah Hidup Tapi Panjang Hidup

Kata “manusia politik, manusia ekonomi dan manusia sosial” dicantumkan di RPJMN entah periode kapan.

Biasa, wajar, normal kalau sejak dari orangtuanya, apakah sang ayah atau sang ibu, punya tradisi keilmuan, maka anaknya mampu menyelesaikan studi sampai bangku perguruan tinggi. Sejalan dengan budaya mempertahankan klasemen puncak, terjadi rasa puas diri. Merasa bisa hidup layak, sebagai kepala keluarga, dengan andalan ijazah SMA dan/atau yang sederajat. Ketika sang anak lulus SMA. Maka kewajiban memberi pendidikan kepada anaknya, dirasa sudah cukup. Nasib selanjutnya tinggal menyalahkan kemampuan finasial ataukah kemampuan akademis.

Kehidupan tradisi keilmuan keluarga mulai meningkat, atau bergerak naik beberapa digit, jika sang anak mampu menyelesaikan pendidikan tingginya di luar NKRI. Bukan prestis, karena memang sudah tuntutan dan tantangan zaman. Terlebih bagi anak bangsa yang menuntut ilmu agama, menimba ilmu sampai ke sumber datangnya sang pembawa riwayat, amanah, pembawa SK dari langit. Alumni kampus luar negeri tidak sekedar gengsi atau menjanjikan. Persaingan antar penduduk, masyarakat, warga negara di grup ASEAN, sudah tidak bisa dianggap dan ditanggapi dengan santai, ringan dan semua urusan bisa diatur.

Kewajaran ketiga (mana yang pertama dan kedua), bayangkan terjadi kondisi yang aktual dan faktual,  bahwa hubungan antar manusia seolah tanpa batas dan kendala waktu, ruang maupun jarak.  Berkat kemajuan  teknologi informasi dan komunikasi yang mendahului dan melebih daya dukung dan daya tampung mental manusia. Seolah semua umat manusia hidup dalam satu kampung dunia, kampung global, istilah kerennya : Global Village.

Kehidupan masyarakat semakin menyatu dengan pola konektivitas yang semakin erat, semakin lekat, semakin terikat dalam tatatanan dan norma kehidupan baru. Wilayah yurisdiksi negara menjadi kabur, yang ada seolah-olah tanpa batas geografis, otonomi, ekonomi, dan budaya masyarakat (borderless world).

Jadi, kalau anak bangsa dengan garis keturunan, warisan ideologi, silsilah bangsawan, nasib baik dari sono-nya, yang di atas rata-rata nasional, secara politis, misalnya. Mampu mengadu nasib di negeri orang – semacam TKW – artinya sebagai wajar ketiga. Rasanya arah tulisan jadi melenceng, tak jelas arah dan tujuan berpolitik.

Pendidikan politik dan kurikulum politik Nusantara hanya melahirkan kawanan politikus, parpolis klas jago kandang. Ciri utama, karakter khasnya adalah garang garing. Tidak pandang bulu dan gender. Banyak yang masih hidup tapi mati di hati rakyat.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar