Halaman

Rabu, 31 Mei 2017

Pancasila, dari pandangan hidup menjadi susah hidup



Pancasila, dari pandangan hidup menjadi susah hidup

Pancasila yang didaulat jadi way of life bangsa Indonesia, mengalami dinamika  kehidupan sesuai dengan pertumbuhan dan pertambahan usia biologis.

Semangat merdeka sampai jiwa berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan, membuat persatuan dan kesatuan NKRI masih utuh bulat, 100%, tanpa embel-embel ideologi apalagi jargon picisan parpol manapun.


Pancasila yang diawali pergerakan kebangkitan nasional 20 Mei 1908, melangkah pasti dengan ramuan sumpah pemuda 28 Oktober 1928, jadilah sebagai dasar negara, ideologi masional.

Kalau ditelusuri secara seksama dan dalam tempo seadanya dapat dibuktikan bahwa ternyata lengser keprabonnya para presiden RI akibat tidak menghayati dan mengamalkan Pancasila.

Dimulai dari sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", selaku presiden RI pertama, Soekarno, dengan lapang dada mempersilahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk hidup kembali. Kendati secara terang-terangan PKI pernah menusuk dari belakang. Pembentukan Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) menjadi format utama dalam berbangsa dan bernegara. Semua berakhir dengan pengkhianatan PKI melalui Gerakan 30 September 1965.

Tahap berikutnya adalah menguji "kesaktian" sila kedua, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", oleh presiden RI kedua, Soeharto. Sesuai kepiawaian "6 jam di Yogya" dalam peristiwa pemutarbalikkan sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, tak disadari bahwa Bapak Pembangunan Soeharto bisa berkuasa selama 6 kali Pemilu. Demi pembangunan atau pembangunan yang merata (= menggusur rakyat jelata) menjadi slogan yang heroik bagi aparat pemerintah. Politik hantam kromo merupakan pasal yang sah dalam memurnikan Pancasila. Hasilnya adalah memakmurkan yang kaya sampai tingkat konglomerat (khusunya yang dekat dengan poros kekuasaan) dan mengadili si miskin hingga menjadi keluarga pra-miskin. Proses memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya berakhir 21 Mei 1998.

Uji coba "kesaktian" sila ketiga, "Persatuan Indonesia", oleh presiden RI ketiga, BJ Habibie, dengan kiat teknologi menyatukan Indonesia lewat dirgantara, dari Sabang sampai Merauke. Kebetulan posisi Timor Timur di luar jaring dirgantara akhirnya berhasil memerdekakan diri. Dengan Otonomi Daerah menyebabkan kemandirian yang kebablasan. Menghadapi wakil rakyat yang baru lepas dari pingitan demokrasi berakhirlah riwayatnya sebagai presiden. Keampuhan persatuan Indonesia diwujudkan dalam bersatunya suara wakil rakyat dalam menghadapi sang mandataris MPR.

Panggilan Gus Dur bagi presiden RI keempat yang menjajal "kesaktian" sila keempat, "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan". Hasilnya sama-sama babak belur. Sama-sama saling memlintir kebijaksanaan. Yang jadi korban, dari zaman ke zaman, tetap rakyat. Dekrit Presiden berakhir sebelum lahir. Jangan heran kalau akhirnya para wakil rakyat yang terhormat bisa naik derajat, pangkat, martabat dan harkat - antara lain menjadi konglomerat mini.

Berikutnya, dan masih bergulir yaitu test case terhadap "kesaktian" sila kelima, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", oleh Ibu Mega yang sebagai penyandang mandataris MPR kelima. Dengan falsafah diam itu emas, maka keadilan sosial lebih diterjemahbebaskan sebagai kesempatan bekerja di luar negeri sebagai TKI, TKW. Memakmurkan orang kaya dalam bentuk kebebasan bagi pejabat untuk meraup dana non-bujeter, yang nyaris tak tersentuh hukum. Bukannya mengantisipasi intimidasinya IMF. Atau lebih menyatakan prinsip berdikari di bidang ekonomi. Di sisi lain, memang ada hubungan historis antar presiden yaitu dalam permainan anak untuk menentukan kalah menang di adu dengan pingsut. 3 jari yang digunakan. Ibu jari bisa menundukkan telunjuk tetapi kalah oleh kelingking. Telunjuk bisa menaklukkan kelingking tetapi tidak bisa berbuat apa-apa melawan ibu jari. Kelingking bisa menelikung ibu jari tetapi dengan mudah ditekuk oleh telunjuk.

Jelang 72 tahun RI merdeka, kita sudah memiliki 8 presiden (salah satunya presiden Indonesia Darurat). Kita ambil pelajaran dari 5 (lima) presiden saja. Ibarat jari kita sudah punya 5 jari dan sudah bisa untuk mengepalkan dan melayangkan tinju, melawan kemiskinan di segala bidang kehidupan. Itupun kalau kompak.

Demikian kisahnya, presiden pertama RI diibaratkan dengan “ibu jari” karena sebagai proklamator. Bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin mengacungkan ibu jari kepada Soekarno. Sejarah kemudian membuktikan bahwa ibu jari bisa ditundukkan oleh telunjuk!

Soeharto sebagai “telunjuk”, utawa presiden RI ke 2, bisa me-tahananrumah-kan si ibu jari, sampai meninggal. Orang akan girang kalau ditunjuk Soeharto sebagai pembantunya. Baru bekerja setelah dapat petunjuk bapak presiden. Tetapi akan mati tujuh turunan kalau dituding sebagai anti UUD 1945 dan anti Pancasila. Karena hobinya main tunjuk akhirnya Soeharto lengser, karena sudah tidak ada petunjuk lagi. Kalau telunjuk mau kompak dengan ibu jari pasti mampu untuk nylentik maupun njewer koruptor.

Si “jari tengah”, memang sesuai fungsinya sebagai penengah atau pemisah. Akhirnya presiden RI ke 3 berhasil memisahkan Timor Timur dari NKRI.  Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Semboyan BJ Habibie yang bisa merasa hidup di alam nyata adalah  : ora dadi presiden, ora duwe parpol, ora patheken

Si “jari manis”, kalau diam kelihatan manis. Kalau berulah bisa bikin kalang kabut. Bisa menggelitik secara lembut. Karena ulahnya si jari manis tercabut akarnya sebagai presiden RI ke 4 oleh kuasa MPR RI.

Kisah berikutnya, keberadaan si “kelingking” sebagai presiden RI ke 5 yang justru kebetulan anak kandung ibu jari. Jelas tidak bisa membersihkan KKN sisa rezim si telunjuk ! secara formal si kelingking akan mudah ditekuk oleh telunjuk. Toh bangsa dan rakyat Indonesia cukup merasa nikmat dikorek-korek lubang hidung dan lubang telinganya dengan kelingking.

Akhir kisah, kita nanti akan main hom pim pah saja. Kesaktian Pancasila tak perlu diuji coba lagi, tak perlu didewa-dewakan lagi, tak perlu diperdebatkan akurasinya dalam mewujudkan mayarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Yang sudah terwujud adalah wakil rakyat yang sejahtera.

Pengalaman hidup Pancasila dengan usia historisnya, mau tak mau, walau tahan gerogotan. Namun pihak penggerogot justru dari orang dalam, akhirnya walau dielus-elus tangan sehalus apapun, tetap terpaku di tempat. Kendati diusap-usap lembut, diolesi dan baca mantra ramuan ajaib revolusi mental, Pancasila tidak bergeming dari posisi semula. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar