Halaman

Sabtu, 13 Mei 2017

Demokrasi Indonesia Memang Butuh “Tikus”



Demokrasi Indonesia Memang Butuh “Tikus”

Dominasi kekuasaan sekaligus kekuatan politik semakin menentukan perjalanan hidup anak bangsa. Eloknya, sampai urusan dapur tak akan pernah lepas dari kebijakan politik nasional maupun kearifan politik lokal.

Kasta, strata, kelas penduduk paling bawah, paling dasar mungkin yang disebut ‘rakyat’. Gambaran atau visualisasi rakyat lebih ke arah stigma dan konotasi dengan skala ekonomi, sosial, kesempatan serta atribut ‘negatif’ lainnya, tepatnya predikat Permanent Underclass.

Rakyat atau “akar rumput” yang kadar politiknya hanya sebagai pengguna hak pilih, jelas akan sebagai bukan pemanfaat utama hasil pembangunan nasional/daerah. Rakyat sebagai komoditas politik tak serta merta akan mendongkrak nasibnya.

Artinya, rakyat yang kental aroma irama syahwat politiknya yang akan menerima gelontoran, limpahan, luberan rezeki politik. Hebat dan ramahnya anak bangsa Indonesia menjadikan pihak yang tidak berpolitik malah sebagai penerima terbanyak, terbesar rezeki politik.

Pelaku ekonomi, penggerak ekonomi nasional semakin mulus arus masuk fulusnya karena mampu menjaga hubungan baik dengan pelaku politik. Terlebih peguasa nasional maupun penguasa terdekat dengan domisili kegiatan ekonominya.

Rakyat tidak boleh iri hati, dengki jika melihat pegiat, pelaku, penyuka, pemain, pekerja politik hidupnya tanpak sukses dunia. Dihitung mundur, ditarik ulur kebelakang memang selain “hujan tidak merata” memang ada debit rezeki politik yang khusus mengalir “ke atas”.
                                
Bahasa menujukkan bangsa. Di balik kata terkandung sejuta makna. Kandungan makna DEBIT adalah DEmokrasi BIaya Tinggi. Presiden ketujuh RI tentu mewarisi semangat . “Jer basuki mawa béya” (samubarang, sakabehing gegayuhan mbutuhake wragat). Wragat bisa dikonotasikan sebagai “pengorbanan”. Jangan heran jika pihak yang bersemangat mempertahankan serta maupun melanjutakan kekuasaan tahu betul siapa saja yang bisa “dikorbankan”.

Setalah DEBIT, lanjut ke DEBUT. Penampilan perdana, awal sebagai presiden semangkin membuktikan kalau DEBUT adalah DEmokrasi BUtuh Tikus. Diawali dengan tikus got, tikus kotor, tikus ndas ireng, tikus abang sampai tikus politik.

Tikus politik yang bersarang di media massa dengan segala peranakannya, memang menjadi bibit perpecahan persatuan dan kesatuan nasional. Koq bisa kawan.

Acara, atraksi, adegan berbasisi dialog, diskusi, debat karena pesanan kebijakan politik. Menunjukkan DEBAT merupakan symbol dari Demokrasi BAnyak Tikus.

Agar tikus-tikus politik tak terganggu hak politiknya, tak terusik nikmat dunianya dengan ujaran.  Cukup sekian. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar