Demokrasi
Indonesia Memang Butuh “Tikus”
Dominasi kekuasaan sekaligus kekuatan politik semakin menentukan
perjalanan hidup anak bangsa. Eloknya, sampai urusan dapur tak akan pernah
lepas dari kebijakan politik nasional maupun kearifan politik lokal.
Kasta,
strata, kelas penduduk paling bawah, paling dasar mungkin yang disebut ‘rakyat’. Gambaran atau visualisasi rakyat lebih ke arah stigma
dan konotasi dengan skala ekonomi, sosial, kesempatan serta atribut ‘negatif’
lainnya, tepatnya predikat Permanent Underclass.
Rakyat atau “akar rumput”
yang kadar politiknya hanya sebagai pengguna hak pilih, jelas akan sebagai
bukan pemanfaat utama hasil pembangunan nasional/daerah. Rakyat sebagai
komoditas politik tak serta merta akan mendongkrak nasibnya.
Artinya, rakyat yang
kental aroma irama syahwat politiknya yang akan menerima gelontoran, limpahan,
luberan rezeki politik. Hebat dan ramahnya anak bangsa Indonesia menjadikan
pihak yang tidak berpolitik malah sebagai penerima terbanyak, terbesar rezeki
politik.
Pelaku ekonomi,
penggerak ekonomi nasional semakin mulus arus masuk fulusnya karena mampu
menjaga hubungan baik dengan pelaku politik. Terlebih peguasa nasional maupun penguasa
terdekat dengan domisili kegiatan ekonominya.
Rakyat tidak boleh iri
hati, dengki jika melihat pegiat, pelaku, penyuka, pemain, pekerja politik
hidupnya tanpak sukses dunia. Dihitung mundur, ditarik ulur kebelakang memang
selain “hujan tidak merata” memang ada debit rezeki politik yang khusus
mengalir “ke atas”.
Bahasa menujukkan
bangsa. Di balik kata terkandung sejuta makna. Kandungan makna DEBIT adalah DEmokrasi BIaya Tinggi.
Presiden ketujuh RI tentu mewarisi semangat . “Jer basuki mawa béya” (samubarang, sakabehing gegayuhan mbutuhake wragat). Wragat bisa dikonotasikan sebagai “pengorbanan”. Jangan
heran jika pihak yang bersemangat mempertahankan serta maupun melanjutakan
kekuasaan tahu betul siapa saja yang bisa “dikorbankan”.
Setalah DEBIT, lanjut ke DEBUT. Penampilan perdana, awal
sebagai presiden semangkin membuktikan kalau DEBUT adalah DEmokrasi BUtuh Tikus. Diawali dengan tikus got, tikus kotor, tikus ndas
ireng, tikus abang sampai tikus politik.
Tikus politik yang
bersarang di media massa dengan segala peranakannya, memang menjadi bibit
perpecahan persatuan dan kesatuan nasional. Koq bisa kawan.
Acara, atraksi, adegan
berbasisi dialog, diskusi, debat karena pesanan kebijakan politik. Menunjukkan DEBAT
merupakan symbol dari Demokrasi
BAnyak Tikus.
Agar tikus-tikus politik tak terganggu hak politiknya, tak terusik nikmat dunianya
dengan ujaran. Cukup sekian. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar