Halaman

Selasa, 23 Mei 2017

mengkhianati negara vs menistai agama



mengkhianati negara vs menistai agama

Tanpa teori dari siapa pun, pendapat ahli, pakarnya, atau hasil kajian dan survei abal-abal.  Faktanya berbagai gerakan senyap politik, aneka tindakan kebijakan politik, serba-serbi modus operandi bandar politik mancanegara, operator politik lokal, merupakan akumulasi, gabungan dari semua kejadian pasca proklamasi sampai pasca reformasi.

Nyaris memutar ulang sejarah. Didominasi kejadian yang paralel tumpang tindih dengan bobot yang lebih masif. Puncak, klimaksnya di periode 2014-2019. Gonjang-ganjing, carut-marut, hingar-bingar akibat bercampurbaurnya suasana damai, megakonflik, multikrisis, perang dingin, darurat politik, gagal amanah, adem-ayem bak bara dalam sekam. Terasa kurang taji, diramu, tepatnya dikatalisatori intimidasi penguasa menjadi satu, terpadu dalam satu sistem. Dalam saru hari, 24 jam, semua kejadian terjadi sekaligus, beda waktu, terasa menyengat. Panas hujan menjadi satu.

Jangan ditafsirkan jika ternyata nyatanya di Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD NRI 1945, sebagai permainan politik tingkat tinggi. Semua pihak yangberkepntingan mencari “alat pengaman” sekaligus “alat pemukul”.

Salah fatal bisa kita simak, lacak di Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dengan hasil Pasal 6 ayat (1) :
Pasal 6
(1)      Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Kalimat kunci “tidak pernah mengkhianati negara” jangan ditakar,  direka yasa atau diterawang dengan kadar moral atau memakai kaidah bahasa agama. Karena sebagai bahasa hukum sekaligus bahasa politik, maka wajib dicerna dengan bahasa dan hukum yang sama.

Sejauh ini NKRI tidak mempunyai musuh, lawan, seteru yang disebut atau dalam bentuk negara. Hubungan dengan negara tetangga baik-baik saja. Bahkan NKRI mempunyai hubungan diplomatik yang sangat mesra – serta dioplos dengan aneka hubungan gelap, hubungan tanpa ikatan, hubungan tidak wajar, hubungan resmi tapi tidak sah – dengan negara paling bersahabat.

Mau merumuskan apa itu tindakan “mengkhianati negara”, bersifat dinamis. Tiap hari perbendaharaan definisinya bertambah. Ironisnya, pelaku pengkhianatan negara malah oknum yang berbaik-baik dengan negara. Atau orang dalam. Atau oknum yang pasang badan sebagai ring pertama, lingkaran awal istana presiden. Atau mereka tamu khusus, tamu kehormatan, tamu pribadi RI-1 plus/minus RI-2. Ruang gerak “pengkhianat negara” malah membuat wadah sendiri, walau bukan dalam bentuk reklamasi. Apalagi jangan dikait-kaitkan dengan kerajaan kecil akibat eksistensi dinasti politik.

Proses “mengkhianati negara” menjadi suatu tindakan konstitusional. Dengan catatan khusus asal jangan bertentangan dengan revolusi mental. Pokoknya, semua perbuatan anak bangsa yang kontrs revolusi mental, tanpa pembuktian peradilan dan pengadilan, langsung mendapat stigma, pencitraan sebagai “mengkhianati negara”. Cukup sederhana, tidak layak untuk diperdebatkan.

Memang seolah sang “pengkhianat negara” boleh melakukan apa saja. Segala ucapan, ujaran, gaya bicara, laku fisik, pidato atau gerakan senyap yang hanya terdeteksi oleh aparat keamanan dan badan intai, intip nasional.

Salah satu pasal di UUD NRI 1945, yang tidak mengalami nasib obyek perubahan sampa 4 (papat) kali adalah Pasal 29.
Pasal 29
(1)      Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)     Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tinggal bagaimana tindak nyata Negara, Pemerintah atau penguasa mempraktikannya. Tentu tidak perlu dukungan UU untuk melaksanakan Pasal 29. Negara sudah dianggap cakap, mampu dan dewasa.

Soal ada pasal koordinasi, kontrol, kendali oleh pihak tertentu (baca : asing), wajar. Hidup di pentas dunia, dengan populasi keempat terbesar di dunia, penduduk mayoritas kolom agama di KTP-elek tertera : Islam, bukan jaminan, serta merta, otomatis NKRI di atas angin. Malah acap mati angin, mati kutu. Di skala ASEAN, terkadap kalah pamor atau hanya sebagai pelengkap penderita.

Kekuatan pasar, permintaan pasar yang didominasi investor politik menjadikan NKRI dengan sebutan negara ramah-investor. Posisi Nusantara di pentas dunia semangkin diperhitungkan, masuk hitungan mundur.

Singkat kalimat, jika ada oknum penguasa yang ucapan dan ujar kebodohannya menistakan agama lain, atau pidato karangan orang lain yang tidak percaya adanya hari akhir, atau pemerintah langsung menggunakan jurus mematikan, senjata andalan hanya untuk menghadapi sebuah organisasi kemasyarakat berbasis Islam – semua ini adalah langkah konstitusional. Tidak bisa dipidanakan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar