mengkhianati
negara vs menistai agama
Tanpa teori dari siapa pun, pendapat ahli, pakarnya, atau hasil kajian dan
survei abal-abal. Faktanya berbagai
gerakan senyap politik, aneka tindakan kebijakan politik, serba-serbi modus
operandi bandar politik mancanegara, operator politik lokal, merupakan akumulasi,
gabungan dari semua kejadian pasca proklamasi sampai pasca reformasi.
Nyaris memutar ulang sejarah. Didominasi kejadian yang paralel tumpang
tindih dengan bobot yang lebih masif. Puncak, klimaksnya di periode 2014-2019. Gonjang-ganjing,
carut-marut, hingar-bingar akibat bercampurbaurnya suasana damai, megakonflik, multikrisis, perang dingin, darurat politik, gagal amanah, adem-ayem bak bara dalam sekam. Terasa kurang taji,
diramu, tepatnya dikatalisatori intimidasi penguasa menjadi satu, terpadu dalam satu sistem. Dalam saru hari, 24 jam, semua
kejadian terjadi sekaligus, beda waktu, terasa menyengat. Panas hujan menjadi
satu.
Jangan ditafsirkan jika ternyata
nyatanya di Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD NRI 1945, sebagai permainan politik tingkat tinggi.
Semua pihak yangberkepntingan mencari “alat pengaman” sekaligus “alat pemukul”.
Salah fatal bisa kita simak, lacak
di Perubahan Ketiga UUD NRI 1945,
dengan hasil Pasal 6 ayat (1) :
Pasal 6
(1)
Calon Presiden dan calon Wakil
Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Kalimat kunci “tidak pernah mengkhianati negara” jangan ditakar, direka yasa atau diterawang dengan kadar
moral atau memakai kaidah bahasa agama. Karena sebagai bahasa hukum sekaligus
bahasa politik, maka wajib dicerna dengan bahasa dan hukum yang sama.
Sejauh ini NKRI tidak mempunyai
musuh, lawan, seteru yang disebut atau dalam bentuk negara. Hubungan dengan
negara tetangga baik-baik saja. Bahkan NKRI mempunyai hubungan diplomatik yang
sangat mesra – serta dioplos dengan aneka hubungan gelap, hubungan tanpa
ikatan, hubungan tidak wajar, hubungan resmi tapi tidak sah – dengan negara
paling bersahabat.
Mau merumuskan apa itu tindakan “mengkhianati negara”, bersifat dinamis.
Tiap hari perbendaharaan definisinya bertambah. Ironisnya, pelaku pengkhianatan
negara malah oknum yang berbaik-baik dengan negara. Atau orang dalam. Atau
oknum yang pasang badan sebagai ring pertama, lingkaran awal istana presiden.
Atau mereka tamu khusus, tamu kehormatan, tamu pribadi RI-1 plus/minus RI-2.
Ruang gerak “pengkhianat negara” malah membuat wadah sendiri, walau bukan dalam
bentuk reklamasi. Apalagi jangan dikait-kaitkan dengan kerajaan kecil akibat
eksistensi dinasti politik.
Proses “mengkhianati negara” menjadi suatu tindakan konstitusional. Dengan
catatan khusus asal jangan bertentangan dengan revolusi mental. Pokoknya, semua
perbuatan anak bangsa yang kontrs revolusi mental, tanpa pembuktian peradilan
dan pengadilan, langsung mendapat stigma, pencitraan sebagai “mengkhianati
negara”. Cukup sederhana, tidak layak untuk diperdebatkan.
Memang seolah sang “pengkhianat negara” boleh melakukan apa saja. Segala
ucapan, ujaran, gaya bicara, laku fisik, pidato atau gerakan senyap yang hanya
terdeteksi oleh aparat keamanan dan badan intai, intip nasional.
Salah satu pasal di UUD NRI 1945, yang tidak mengalami
nasib obyek perubahan sampa 4 (papat) kali adalah Pasal 29.
Pasal 29
(1)
Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Tinggal bagaimana tindak nyata Negara, Pemerintah atau penguasa
mempraktikannya. Tentu tidak perlu dukungan UU untuk melaksanakan Pasal 29.
Negara sudah dianggap cakap, mampu dan dewasa.
Soal ada pasal koordinasi, kontrol, kendali oleh pihak tertentu (baca :
asing), wajar. Hidup di pentas dunia, dengan populasi keempat terbesar di dunia,
penduduk mayoritas kolom agama di KTP-elek tertera : Islam, bukan jaminan,
serta merta, otomatis NKRI di atas angin. Malah acap mati angin, mati kutu. Di
skala ASEAN, terkadap kalah pamor atau hanya sebagai pelengkap penderita.
Kekuatan pasar, permintaan pasar yang didominasi investor politik
menjadikan NKRI dengan sebutan negara ramah-investor. Posisi Nusantara di
pentas dunia semangkin diperhitungkan, masuk hitungan mundur.
Singkat kalimat, jika ada oknum penguasa yang ucapan dan ujar kebodohannya
menistakan agama lain, atau pidato karangan orang lain yang tidak percaya
adanya hari akhir, atau pemerintah langsung menggunakan jurus mematikan,
senjata andalan hanya untuk menghadapi sebuah organisasi kemasyarakat berbasis
Islam – semua ini adalah langkah konstitusional. Tidak bisa dipidanakan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar