lingkaran
demit : wibawa negara vs makar pangan vs sukses 2019
Jelang mendekati lokasi masjid, di tiang listrik
terpasang bendera kuning. Pertanda berita duka. Dipasang tidak sampai ujung
belakang blok perumahan. Karena keluarga duka ada di wilayah depan. Tetangga blok
dengan masjid.
Usai sholat subuh dan berdoa bersama, pengurus masjid
mengumumkan berita duka. Anak usia 11 tahun, perempuan, sudah usai selesaikan
ujian SD, wafat pukul 10 malam karena flex jantung. Satpam RT sebagai sumber
informasi tampak sedih. Kenal dengan almarhumah yang anak bungsu.
Berbagai analisa muncul dari jamaah sambil pulang jalan
kaki. Usia muda yang jadi fokus mimbar jalan pulang. Tentunya yang paling
bersedih adalah orangtua dan kakaknya.
Wajar dalam sebuah keluarga, rumah tangga, orangtua ingin
melihat anaknya tumbuh kembang sampai berkeluarga. Sampai menurunkan generasi
berikutnya. Mewujudkan rumusan memperbaiki keturunan.
Bangsa sebagai keluarga besar, banyak anak bangsa yang
tetap ingin menurunkan kekuasaannya kepada keturunannya. Negara dijadikan usaha
keluarga. Terjadi pemaksaan regenerasi. Agar tidak dikecam oleh hati nuraninya
sendiri, semua modus dilakukan secara konstitusional.
Syahwat politik telah menggelapkan hati nurani. Merangkul
semua potensi dengan menembus batas agama. Menghidupkan aliran politik
dinamisme dan animism. Bilamana perlu dan memang perlu dapat menggunakan
kekuatan asing, aneh, ajaib untuk mendongkrak cita-cita dan angan-angan
politiknya. Memangnya ada kawan? Tidak perlu diperdebatkan.
Wibawa keluarga tidak perlu direkayasa. Alami. Tidak dibuat-buat
agar tampak berwibawa. Tidak perlu jaga imej. Demi wibawa keluarga malah jauh
dari sanak keluarga, tetangga dan relasi.
Makan pun, kalau memang selera dan klas warung, jangan
memaksakan diri nongkrong dan nangkring di restaurant atau rumah makan ala
barat. Apalagi datang berbondong-bondong membawa bala bantuan. Bikin tekor
walau kesohor.
Jaga pamor diri walau keluar rumah dengan celana kolor. Agar
dikira hidup sederhana. Tak sesederhana ambisi politiknya yang ingin maju lagi
di palagan berikutnya. Fokus ke depan, apa kata dunia, abaikan bak anjing
melolong komplotan politik tetap berlalu. Peduli amat dengan nasib masa depan
generasi yang belum lahir. Salah sendiri kenapa lahir di Indonesia. Salah sendiri
tidak memakai asas yang “kuat, cepat, nekat” yang akan dapat. Salah sendiri
tidak mencari restu ke demit dari negara paling bersahabat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar