Halaman

Rabu, 24 Mei 2017

lingkaran demit : wibawa negara vs makar pangan vs sukses 2019



lingkaran demit : wibawa negara vs makar pangan vs sukses 2019

Jelang mendekati lokasi masjid, di tiang listrik terpasang bendera kuning. Pertanda berita duka. Dipasang tidak sampai ujung belakang blok perumahan. Karena keluarga duka ada di wilayah depan. Tetangga blok dengan masjid.

Usai sholat subuh dan berdoa bersama, pengurus masjid mengumumkan berita duka. Anak usia 11 tahun, perempuan, sudah usai selesaikan ujian SD, wafat pukul 10 malam karena flex jantung. Satpam RT sebagai sumber informasi tampak sedih. Kenal dengan almarhumah yang anak bungsu.

Berbagai analisa muncul dari jamaah sambil pulang jalan kaki. Usia muda yang jadi fokus mimbar jalan pulang. Tentunya yang paling bersedih adalah orangtua dan kakaknya.

Wajar dalam sebuah keluarga, rumah tangga, orangtua ingin melihat anaknya tumbuh kembang sampai berkeluarga. Sampai menurunkan generasi berikutnya. Mewujudkan rumusan memperbaiki keturunan.

Bangsa sebagai keluarga besar, banyak anak bangsa yang tetap ingin menurunkan kekuasaannya kepada keturunannya. Negara dijadikan usaha keluarga. Terjadi pemaksaan regenerasi. Agar tidak dikecam oleh hati nuraninya sendiri, semua modus dilakukan secara konstitusional.

Syahwat politik telah menggelapkan hati nurani. Merangkul semua potensi dengan menembus batas agama. Menghidupkan aliran politik dinamisme dan animism. Bilamana perlu dan memang perlu dapat menggunakan kekuatan asing, aneh, ajaib untuk mendongkrak cita-cita dan angan-angan politiknya. Memangnya ada kawan? Tidak perlu diperdebatkan.

Wibawa keluarga tidak perlu direkayasa. Alami. Tidak dibuat-buat agar tampak berwibawa. Tidak perlu jaga imej. Demi wibawa keluarga malah jauh dari sanak keluarga, tetangga dan relasi.

Makan pun, kalau memang selera dan klas warung, jangan memaksakan diri nongkrong dan nangkring di restaurant atau rumah makan ala barat. Apalagi datang berbondong-bondong membawa bala bantuan. Bikin tekor walau kesohor.

Jaga pamor diri walau keluar rumah dengan celana kolor. Agar dikira hidup sederhana. Tak sesederhana ambisi politiknya yang ingin maju lagi di palagan berikutnya. Fokus ke depan, apa kata dunia, abaikan bak anjing melolong komplotan politik tetap berlalu. Peduli amat dengan nasib masa depan generasi yang belum lahir. Salah sendiri kenapa lahir di Indonesia. Salah sendiri tidak memakai asas yang “kuat, cepat, nekat” yang akan dapat. Salah sendiri tidak mencari restu ke demit dari negara paling bersahabat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar