semakin berkuasa berbanding lurus dengan pola makan
anti-Pancasila
Memang, secara de
jure dan de facto, Pancasila
hanya ada di Indonesia saja. Bagaimana nasib Pancasila antar periode
pemerintahan nasional, sangat tergantung kebaikan hati sang penguasa.
Di zaman Orde Lama, karena sang penggali Pancasila
sebagai presiden, mau tak mau, Pancasila aman-aman saja. Baik-baik saja. Tidak merajuk,
bikin olah, apalagi menjadi biang onar.
Nasib berbeda menimpa Pancasila saat di tangan penguasa
tunggal Orde Baru. “Pancasila Sakti” menjadikan Bapak Pembangunan, Jenderal
Besar Suharto menjadi “betah” sebagai presiden. Kendaraan politik Golkar,
dengan atas kehendak rakyat maka 6x pemilu pak Harto mendapat mandat sebagai
presiden.
Nasib apes menimpa serta harus diderita lahir batin oleh
Pancasila di era reformasi. 21 Mei 1998 sebagai puncak prestasi gerakan
reformasi dengan gemilang me-lengserkeprabon-kan penguasa tunggal Orde Baru
dari kursi presiden kedua RI.
Kesaktian Pancasila langsung luntur tak berbekas. Entah sebagai
nyanyian lagu wajib. Raib atau mengalamai degradasi dari sebagai mata
pelajaran, mata kuliah atau bahan indoktrinasi bagi calon abdi negara.
Akhirnya, konon ujar keheranan ki dalang Sobopawon, Pancasila
mendadak menjadi senjata yang malah lebih sakti lagi. Jauh sebagai pedang
bermata dua. Kepancasilaan sebagai alat legitimasi diri sekaligus sebagai alat
intimidasi untuk mengamankan diri. Diri siapa kawan?
Katakan, ujar keluh ki dalang Sobopawon di depan
penggemarnya, selama periode 2014-2019 tak ayal Pancasila di dalam genggaman
tangan ahlinya.
Pancasila menjadi senjata pamungkas. Di satu sisi sebagai
alat legitimasi diri oleh penguasa untuk pencitraan, menjaga wibawa negara dan
martabat bangsa di mata dunia internasional. Sekaligus di sisi lain sebagai alat intimidasi
membungkam lawan politik atau pihak-pihak yang berseberangan atau yang dianggap
atau patut diduga sebagai penghalang jalannya revolusi mental.
Geliat “akar rumput”, apalagi bangkitnya rasa nasionalisme,
rasa kebangsaan yang dicap memakai hukum langit, maka serta merta akan mendapat
stigma calon potensial pemakar sekaligus anti-NKRI, anti-Pancasila. Pokoknya anti-
“4 pilar” berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, bisik penonton, yaitu
Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Jangan-jangan, bumbuné opo, sang penguasa sudah mempunyai calon pengganti
Pancasila. Yang sudah terbukti ampuh dipraktikkan di negara lain yang populasi
penduduknya nomer satu di dunia. Ojo étok-étok kagét mbok dé lan paklik. Dagelané wis ora lucu, nanging digeguyu
pitik walik sobo ambèn. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar