Dicari, Penggali (Lubang)
Pancasila
Berdasarkan data yang disampaikan oleh BPS
menunjukkan bahwa selama pemerintahan SBY, nilai NTP (nilai tukar petani)
cenderung meningkat. Kesejahteraan petani terlihat dari berbagai penelitian
yang menunjukkan keuntungan usaha tani yang tinggi serta kondisi kehidupan
rumah tangga tani yang semakin baik. Selama pemerintahan SBY, NTP hamper selalu di atas
100 kecuali tahun 2009, pada saat harga-harga di tingkat eceran atau konsumen
meningkat akibat dari kenaikan harga BBM, dan sebagai dampak ekskalasi harga
pangan dunia pada tahun 2008. Peningkatan harga ini tidak hanya ditanggung oleh
petani tetapi oleh konsumen secara luas. (Sumber : http://www.setneg.go.id
DiHasilkan: 4 August, 2015, 15:48).
Periode 2014-2019, kepedulian pemerintah
kepada petanai dibuktikan dengan sesuai berita :
“Prioritas Untuk Petani
Marjinal, Pemerintah Segera Bagikan Lahan Seluas 9 Juta Hektar”
Oleh: Humas ; Diposkan pada: 28 Feb 2015 ; 76556 Views Kategori:
Berita
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden
(Wapres) Jusuf Kalla memimpin Rapat terbatas kabinet mengenai
ketersediaan lahan seluas 9 juta hektar yang akan dibagikan kepada rakyat, di Kantor
Presiden, Jakarta, Jumat (27/2) sore.
Karena itu, menurut Siti, masih ada ruang bagi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengkonversi kembali lahannya
buat rakyat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu berharap,
kebijakan ini bisa menambah kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,8
hektar menjadi 2 hektar per petani. (Humas Setkab/ES)
Rakyat, khususnya petani tentu girang dengan berita
segar, angin surga langsung dihembuskan oleh Jokowi plus JK.
Sayangnya, mulai dari istana presiden dan/atau istana
wakil presiden, muncul serigal-serigala politik. Mereka memakai seragam,
atribut resmi orang pemerintah. Mereka siaga 24 jam. Mewaspadai ancaman,
tantangan, hambatan, gangguan di dalam negeri. Stigma pemakar menjadi jurus
andalan dan senjata pamungkas menghadapi pergerakan anti-Pancasila.
Kajian akademis, rumusan ajaib revolusi mental, jajak
pendapat, survei tanpa survei, skenario asing pun dilibatkan untuk mencari
sosok pancasilais sejati. Minimal mencari tokoh yang layak didaulat, dinobatkan
sebagai negarawan. Jangan-jangan NKRI sudah kebal dengan paceklik pancasilais
sejati dan negarawan paripurna.
Bertebarannya rayap-rayap politik sebagai efek domino
negara multipartai, menjadikan NKRI keropos, kerontang dari dalam. Modus kasus
yang merugikan negara, merusak wibawa negara, menurunkan citra dan pamor
pemerintah, gerakan senyap mengkhianati negara, tindak ucap menista agama lain
dan sebangsanya, jika pelakunya bolo dw,
konco dw, serta merta akan diusahakan dipetieskan.
Tiada guru sejati yang mampu menjadi panutan, menjadikan
anak bangsa ini bak harga daging sapi yang bergerak liar jelang dan di awal
bulan Ramadhan.
Musuh bersama NKRI yang semula adalah kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan bergeser ke oknum atau sistem yang selama ini
dipelihara oleh negara. Digadang jadi pecundang.
Akibat politik sesaat dan sesat, wolak-waliking zaman, maka pihak yang ditetapkan sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum, dalam praktiknya bak pagar tahu nikmat
dunia, tahu arti kursi kekuasaan, tahu betul daya guna dan hasil guna uang,
tahu persis bagaimana memanfaatkan posisi yang sedang di atas angin, naik daun.
Gonjang-ganjing kemelut musuh dalam selimut, dalam
negeri agar tegak payung Pancasila hanya sebagai dalih, alasan untuk
menancapkan kuku kekuasaan. Bilamana perlu maka tak jadi soal mempoisisikan,
menempatkan gerakan yang mengkritisi kepemimpinan nasional sebagai “musuh
negara”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar