Halaman

Selasa, 30 Mei 2017

Dicari, Penggali (Lubang) Pancasila




Dicari, Penggali (Lubang) Pancasila

Berdasarkan data yang disampaikan oleh BPS menunjukkan bahwa selama pemerintahan SBY, nilai NTP (nilai tukar petani) cenderung meningkat. Kesejahteraan petani terlihat dari berbagai penelitian yang menunjukkan keuntungan usaha tani yang tinggi serta kondisi kehidupan rumah tangga tani yang semakin baik. Selama pemerintahan SBY, NTP hamper selalu di atas 100 kecuali tahun 2009, pada saat harga-harga di tingkat eceran atau konsumen meningkat akibat dari kenaikan harga BBM, dan sebagai dampak ekskalasi harga pangan dunia pada tahun 2008. Peningkatan harga ini tidak hanya ditanggung oleh petani tetapi oleh konsumen secara luas. (Sumber : http://www.setneg.go.id DiHasilkan: 4 August, 2015, 15:48).

Periode 2014-2019, kepedulian pemerintah kepada petanai dibuktikan dengan sesuai berita :
Prioritas Untuk Petani Marjinal, Pemerintah Segera Bagikan Lahan Seluas 9 Juta Hektar”
Oleh: Humas ; Diposkan pada: 28 Feb 2015 ; 76556 Views Kategori: Berita

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla memimpin Rapat terbatas kabinet  mengenai ketersediaan lahan seluas 9 juta hektar yang akan dibagikan kepada rakyat, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (27/2) sore.

Karena itu, menurut Siti, masih ada ruang bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengkonversi kembali lahannya buat rakyat.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu berharap, kebijakan ini bisa menambah kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,8 hektar menjadi 2 hektar per petani. (Humas Setkab/ES)

Rakyat, khususnya petani tentu girang dengan berita segar, angin surga langsung dihembuskan oleh Jokowi plus JK.

Sayangnya, mulai dari istana presiden dan/atau istana wakil presiden, muncul serigal-serigala politik. Mereka memakai seragam, atribut resmi orang pemerintah. Mereka siaga 24 jam. Mewaspadai ancaman, tantangan, hambatan, gangguan di dalam negeri. Stigma pemakar menjadi jurus andalan dan senjata pamungkas menghadapi pergerakan anti-Pancasila.

Kajian akademis, rumusan ajaib revolusi mental, jajak pendapat, survei tanpa survei, skenario asing pun dilibatkan untuk mencari sosok pancasilais sejati. Minimal mencari tokoh yang layak didaulat, dinobatkan sebagai negarawan. Jangan-jangan NKRI sudah kebal dengan paceklik pancasilais sejati dan negarawan paripurna.

Bertebarannya rayap-rayap politik sebagai efek domino negara multipartai, menjadikan NKRI keropos, kerontang dari dalam. Modus kasus yang merugikan negara, merusak wibawa negara, menurunkan citra dan pamor pemerintah, gerakan senyap mengkhianati negara, tindak ucap menista agama lain dan sebangsanya, jika pelakunya bolo dw, konco dw, serta merta akan diusahakan dipetieskan.

Tiada guru sejati yang mampu menjadi panutan, menjadikan anak bangsa ini bak harga daging sapi yang bergerak liar jelang dan di awal bulan Ramadhan.

Musuh bersama NKRI yang semula adalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan bergeser ke oknum atau sistem yang selama ini dipelihara oleh negara. Digadang jadi pecundang.

Akibat politik sesaat dan sesat, wolak-waliking zaman, maka pihak yang ditetapkan sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, dalam praktiknya bak pagar tahu nikmat dunia, tahu arti kursi kekuasaan, tahu betul daya guna dan hasil guna uang, tahu persis bagaimana memanfaatkan posisi yang sedang di atas angin, naik daun.

Gonjang-ganjing kemelut musuh dalam selimut, dalam negeri agar tegak payung Pancasila hanya sebagai dalih, alasan untuk menancapkan kuku kekuasaan. Bilamana perlu maka tak jadi soal mempoisisikan, menempatkan gerakan yang mengkritisi kepemimpinan nasional sebagai “musuh negara”. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar