Halaman

Rabu, 10 Mei 2017

Dicari, Sampah Politik Sisa Ekspor



Dicari, Sampah Politik Sisa Ekspor

Ndilalah, kabèh kersaning Allah
Wong mati ora obah
Yèn obah medèni bocah
Yèn urip gawé bubrah

Jangan sekalipun. Selama hidup atau semasa masih hidup, untuk coba iseng mengibuli diri sendiri. Pura-pura tidak tahu. Apalagi dengan dalih, baru tahu. Hidup memang harus punya ilmu dan pakai ilmu.

Orang bersin pun, atau hal lain yang tampak sederhana, sepelé, otomatis, hak asasi makhluk, harus mempunyai ilmu. Minimal pernah “baca kode etik bersin”. Lebih mulia lagi dengan memahami dan mempraktikkan nilai religi “adab orang bersin”.

Yang terakhir disebut di atas, memenuhi unsur vertikal, ke atas sekaligus unsur ke samping, vertikal sesama umat manusia. Tidak ada pasal mentang-mentang mulut mulut-sendiri lantas bebas bersin. Dimanapun, kapanpun, senyaring apapun.

Peradaban politik suatu bangsa, bukan dilihat pada adanya kerukunan antar partai politik, apalagi di negara multipartai. Kendati terdapat hukum “adab orang berpolitik”, pada saat praktiknya yang berlaku adalah hukum rimba, pasal belantara. Hukum politik dan bahasa politik menjadi sumber dari segala hukum tak tertulis.

Pasca gerakan massa yang berorientasi pada orang, akan menyisakan puing luka bangsa yang akut. Kota sulit menjadi ramah-warga. Politik transaksional, politik uang dan seabreg jual-beli ideologi menjadikan anak bangsa merasa punya dewa penyelamat. Mulai dari merasa dapurnya terselamatkan sampai oknum yang merasa jabatannya terselamatkan. Bahkan bisa promosi tanpa tunggu antrian, tanpa urut senioritas, urut nomer kedatangan.

Setiap gonjang-ganjing politik, semakin terkuak mana yang anti-4 Pilar berbangsa dan bernegara. Mana yang pro-rakyat sendiri, bangsa pribumi.  Mana yang menjadi perpanjangan tangan dan penyambung lidah bangsa dan rakyat non-pribumi. Bung Karno bukan penyambung lidah rakyat non-pribumi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar