Dicari, Sampah Politik Sisa Ekspor
Ndilalah, kabèh kersaning Allah
Wong mati ora obah
Yèn obah medèni
bocah
Yèn urip gawé bubrah
Jangan sekalipun. Selama hidup atau semasa masih hidup,
untuk coba iseng mengibuli diri sendiri. Pura-pura tidak tahu. Apalagi dengan
dalih, baru tahu. Hidup memang harus punya ilmu dan pakai ilmu.
Orang bersin pun, atau hal lain yang tampak sederhana,
sepelé, otomatis, hak
asasi makhluk, harus mempunyai ilmu. Minimal pernah “baca kode etik bersin”.
Lebih mulia lagi dengan memahami dan mempraktikkan nilai religi “adab orang
bersin”.
Yang terakhir disebut di atas, memenuhi unsur vertikal,
ke atas sekaligus unsur ke samping, vertikal sesama umat manusia. Tidak ada pasal
mentang-mentang mulut mulut-sendiri lantas bebas bersin. Dimanapun, kapanpun,
senyaring apapun.
Peradaban politik suatu bangsa, bukan dilihat pada adanya
kerukunan antar partai politik, apalagi di negara multipartai. Kendati terdapat
hukum “adab orang berpolitik”, pada saat praktiknya yang berlaku adalah hukum
rimba, pasal belantara. Hukum politik dan bahasa politik menjadi sumber dari
segala hukum tak tertulis.
Pasca gerakan massa yang berorientasi pada orang, akan
menyisakan puing luka bangsa yang akut. Kota sulit menjadi ramah-warga. Politik
transaksional, politik uang dan seabreg jual-beli ideologi menjadikan anak
bangsa merasa punya dewa penyelamat. Mulai dari merasa dapurnya terselamatkan
sampai oknum yang merasa jabatannya terselamatkan. Bahkan bisa promosi tanpa
tunggu antrian, tanpa urut senioritas, urut nomer kedatangan.
Setiap gonjang-ganjing politik, semakin terkuak mana yang
anti-4 Pilar berbangsa dan bernegara. Mana yang pro-rakyat sendiri, bangsa
pribumi. Mana yang menjadi perpanjangan
tangan dan penyambung lidah bangsa dan rakyat non-pribumi. Bung Karno bukan
penyambung lidah rakyat non-pribumi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar