gonjang-ganjing
Pancasila, narima ing pandum vs cupet lelakon
Tak salah jika
kita dengar kata ‘petani’, bayangan kita langsung mengarah pada sosok orang
yang bekerja di sawah, menanam padi, dst. Dilengkapi dengan kerbau menarik
bajak. Sawah terhampar luas. Mulai menguning nyaris bersamaan. Musim panen
sibuknya para pihak terkait hasil panen.
Jarang ada yang
tahu ada istilah baku : rumah petani tanaman padi (padi sawah atau padi ladang)
serta ada rumah tangga petani hortikultura (sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman
hias dan tanaman obat-obatan). Kalau mau dikupas lebih
jauh, dalam, malah bikin bingung untuk awam. Serahkan kepada ahlinya, biar
hidup kita tenang. Apalagi kalau bukan kapling kita.
Tapi kalau mau
tahu saja dan/atau mau tahu sekali tentang Pancasila, mau tak mau harus menyamakan
persepsi dengan semua elemen rakyat, komponen masyarakat, unsur penduduk, anasir
warga negara di Nusantara.
Kita secara tak
langsung masuk kategori pe-Pancasila. Apakah karena panggilan tugas, syarat
administrasi, menggugurkan kewajiban, sebagai target dasar, atau bisa juga yang
sifatnya mendasar lainnya.
Pancasila sebagai
dasar negara, sebagai ideologi nasional dan rincian akademis, yuridis lainnya,
apakah mampu sehingga antar anak bangsa ada semacam ikatan moral. Minimal sama-sama
mencari makan di negara Pancasila.
Konon,
perjalanan sejak lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, sampai sekarang, tak luput
dari arus nafsu petinggi partai sampai pengejawantahan ambisi politik penguasa.
Ada yang
sifatnya moderat, bisa berada di tengah judul, yaitu ada kelompok penghuni
kamar partai politik yang berkelakuan ala krido
lumahing asto.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar