Halaman

Minggu, 28 Mei 2017

jongos vs tuan sinyo



jongos vs tuan sinyo

Jongos seolah profesi orang terjajah, yaitu bangsa Melayu di tanah air sendiri menjadi budak atas orang asing yang menjajahnya. Kasta rendah di tanah air. Namun sebagai penghibur di dalam sistem keluarga, rumah tangga. Sebagai profesi dengan tampilan fisik yang khas, standard dan nyaris baku di setiap daerah. Dengan atribut atau piranti kerja yang tidak beda jauh antar suku, etnis dan generasi. Merupakan sosok inlander yang memang sedemikian nasibnya tidak bisa dirubah.

Jongos era reformasi pasti menjadi obyek revolusi mental. Dianggap tidak pantas tampil di pentas, gelanggang politik nasional. Yang layak tampil adalah yang bisa buka mulut tanpa memikir panjang. Bisa akting, setting dengan berbagai kepura-puraan. Bisa tampak garang yang biasanya garing. Yang tega terhadap teman sepermainan. Soal sejahtera dan kemakmuran utamakan kepentingan diri sendiri.

Kalau tidak bisa jadi “banjingan”, jangan jadi orang partai. Celetuk masyakarakat Jawa-desa, Jawa-pinggiran. Berlaku untuk semua gender yang diakui di tanah air.

Bagaimana dengan kisah tuan sinyo. Memang stereotip bangsa kulit putih. Lepas sebagai lema di kamus. Tidak hanya profesi yang bertolak belakang dengan ‘jongos’, tetapi juga beda bangsa. Di panggung, pangung, industri, syahwat politik Nusantara, banyak anak bangsa bergaya tuan sinyo, juragan, bandar politik. “bajingannya bajingan” keluh wong Jawa yang menyaksikan dari kejauhan. Mereka juga heran, kenapa tuhan seolah membiarkan mereka hidup dan merajalela. Tuan sinyo yang bisa lebi kejam daripada penjajah bangsa asing.

Namun clash, pertentangan beda kasta, strata, klas tidak berlangsung lama. Setidak-tidak versi orang yang berpikir sederhana, dengan nalar apa adanya, melihat kenyataan seperti apa yang dilihatnya. Tanpa mau campur tangan yang bukan urusannya. Takut didakwa sok moralis. Mengurus diri sendiri saja sudah babak belur, ketètèran, apalagi mau mengurus urusan orang lain. Makanya jangan heran kalau ada oknum penyelenggara yang tidak mau berkeringat megurus urusan rakyat. Takut kualat.

Kejadian apa yang menjadikan ternyata ‘jongos’ dan ‘tuan sinyo’ ternyata satu nasib, satu bangsa, satu tanah air dan satu operadaban.

Menuruit kamus istilah humor politik, tentunya versi bahasa Jawa.

Jongos adalah kependekan dari “ojo-ojo mrongos”.

Tuan sinyo kependekan dari “untuné kedawan gusiné menyonyo”.

Kita tidak boleh menjelek-jelekan ciptaan Allah. Menjadi bahan olok-olok, obyek candaan. Bersyukur saat kita berkaca, bercermin. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar