jongos vs tuan sinyo
Jongos
seolah profesi orang terjajah, yaitu bangsa Melayu di tanah air sendiri menjadi
budak atas orang asing yang menjajahnya. Kasta rendah di tanah air. Namun sebagai
penghibur di dalam sistem keluarga, rumah tangga. Sebagai profesi dengan
tampilan fisik yang khas, standard dan nyaris baku di setiap daerah. Dengan atribut
atau piranti kerja yang tidak beda jauh antar suku, etnis dan generasi. Merupakan
sosok inlander yang memang sedemikian nasibnya tidak bisa dirubah.
Jongos
era reformasi pasti menjadi obyek revolusi mental. Dianggap tidak pantas tampil
di pentas, gelanggang politik nasional. Yang layak tampil adalah yang bisa buka
mulut tanpa memikir panjang. Bisa akting, setting dengan berbagai
kepura-puraan. Bisa tampak garang yang biasanya garing. Yang tega terhadap
teman sepermainan. Soal sejahtera dan kemakmuran utamakan kepentingan diri
sendiri.
Kalau
tidak bisa jadi “banjingan”, jangan jadi orang partai. Celetuk masyakarakat
Jawa-desa, Jawa-pinggiran. Berlaku untuk semua gender yang diakui di tanah air.
Bagaimana
dengan kisah tuan sinyo. Memang stereotip bangsa kulit putih. Lepas sebagai
lema di kamus. Tidak hanya profesi yang bertolak belakang dengan ‘jongos’,
tetapi juga beda bangsa. Di panggung, pangung, industri, syahwat politik
Nusantara, banyak anak bangsa bergaya tuan sinyo, juragan, bandar politik. “bajingannya
bajingan” keluh wong Jawa yang menyaksikan dari kejauhan. Mereka juga heran,
kenapa tuhan seolah membiarkan mereka hidup dan merajalela. Tuan sinyo yang
bisa lebi kejam daripada penjajah bangsa asing.
Namun
clash, pertentangan beda kasta, strata, klas tidak berlangsung lama. Setidak-tidak
versi orang yang berpikir sederhana, dengan nalar apa adanya, melihat kenyataan
seperti apa yang dilihatnya. Tanpa mau campur tangan yang bukan urusannya. Takut
didakwa sok moralis. Mengurus diri sendiri saja sudah babak belur, ketètèran,
apalagi mau mengurus urusan orang lain. Makanya jangan heran kalau ada oknum
penyelenggara yang tidak mau berkeringat megurus urusan rakyat. Takut kualat.
Kejadian
apa yang menjadikan ternyata ‘jongos’ dan ‘tuan sinyo’ ternyata satu nasib, satu bangsa, satu tanah air
dan satu operadaban.
Menuruit
kamus istilah humor politik, tentunya versi bahasa Jawa.
Jongos
adalah kependekan dari “ojo-ojo mrongos”.
Tuan
sinyo kependekan dari “untuné kedawan gusiné menyonyo”.
Kita
tidak boleh menjelek-jelekan ciptaan Allah. Menjadi bahan olok-olok, obyek candaan. Bersyukur saat kita berkaca,
bercermin. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar