Halaman

Jumat, 26 Mei 2017

Ketika Bhayangkara Berburu "Musuh Negara"



Ketika Bhayangkara Berburu "Musuh Negara"

Suasana kebangsaan yang masih trauma oleh akibat kudeta berdarah, makar konstitusional, pemberontakan bersenjata atau sebutan lainnya, yang dilakukan untuk kedua kalinya oleh PKI. Dikenal dengan sebutan G30S 1965 PKI, menjadikan bangsa Indonesia serta merta bersatu. Merasa satu.

Nuansa, momentum ini sangat dimanfaatkan oleh yang kemudian menjadi penguasa tunggal Orde Baru, presiden RI kedua, Jenderal Suharto. Salah satu jargonnya adalah “Stabilitas Nasional”.

Urusan dalam negeri, keamanan dalam negeri lebih dititikberatkan untuk mendeteksi sejak dini gejalan anti kemapanan. Apalagi gerakan disintegrasi, garakan separatis. Pihak yang disinyalir, diindikasikan berpotensi akan menggoyah stabilitas penguasa, tanpa pandang bulu dan ego keturunan langsung dibasmi di tempat.

Trauma rakyat adalah jika mendapat stigma sebagai “musuh negara”. Sekedar berucap, berujar atau sekedar rasan-rasan sudah dianggap masuk pasal darurat. Sebelum meluas, menjalar, mewabah langsung dipadamkan sampai ke akar-akarnya.

Peranan militer (baca ABRI yang merupakan tentara plus polisi) yang menggawangi bidang pertahanan/keamanan, mejadi dominan. Sejarah mengatakan bahwa peran sosial politik dalam ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Dengan konco dw, bolo dw, kalau tak mau merapat ke barisannya, Suharto tanpa sungkan, tanpa beban, tanpa ragu, tanpa merasa malu, aka memasukkan membariskan mereka di kotak sang dalang.

Pasca bergulirnya reformasi yang dimulai dari pincaknya, 21 Mei 1998, yang secara historis mempu me-lengserkebrabon-kan Bapak Pembangunan Suharto dari kursi persiden RI kedua.

Pertama, Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kedua, Perubahan UUD NRI 1945, sampai Perubahan Keempat, selain melahiran lembaga negara baru, juga menata dan membagi ulang kekuasaan lembaga negara yang sudah ada.

Pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan judikatif dalam Pemerintahan . tidak sekedar bukti pengakuan akan kekurangan sumber daya manusia yang masuk kadar atau kategori negarawan.

Akhirnya, akibatnya, ketika zaman Orde Baru, ABRI mampu menghimpun dana di luar jalur dan kebijakan APBN.   

Untuk mendudukan perkara pada pasalnya, kita simak dengan cermat UU RI 17/2011 tentang Intelijen Negara, Pasal 1 ayat 8 menjelaskan : Pihak Lawan adalah pihak dari dalam dan luar negeri yang melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, serta tindakan yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Untuk agar supaya tulisan ini tidak imajinatif, kita baca buku ”Hubungan Intelijen - Negara 1945-2004”, Andi Widjajanto dan Artanti Wardhani, Jakarta 2008. Saya tampilkan : Operasi rahasia juga dapat diselenggarakan untuk sasaran dalam negeri, namun hanya dapat dilakukan untuk menghadapi sasaran yang memenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut, yaitu (1) bekerja bagi kepentingan negara asing atau musuh, contohnya spionase; (2) menunjukkan permusuhan terhadap konstitusi dan sendi kehidupan bernegara, contohnya separatisme, ekstremisme ideologis yang melibatkan kekerasan dan cara-cara yang tidak demokratis; (3) mendorong terjadinya konflik kekerasan primordial; (4) menggunakan cara-cara kekerasan untuk melakukan suatu perubahan sosial politik, contohnya terorisme dan pemberontakan bersenjata.

Intelijen nasional diarahkan untuk menangangi masalah-masalah keamanan dalam negeri; intelijen strategis diarahkan untuk mengurangi pendadakan strategis dari musuh yang berasal dari luar negeri; sementara intelijian militer diarahkan untuk mengumpulkan informasi-informasi potensi ancaman militer bersenjata serta informasi teknis pertempuran yang dibutuhkan untuk menggelar suatu operasi militer.

Dalam kondisi perang, aktivitas intelijen umumnya bersifat lebih ofensif, sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya pelanggaran norma dan aturan yang telah ditetapkan. Hal ini terjadi karena intelijen tidak saja sekadar mengumpulkan informasi, tetapi sekaligus berperan sebagai pemburu musuh primordial.

Tak salah kalau Indonesia sedang dalam kondisi perang melawan ketinggalan peradaban.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar