merasa 'sukur' menjadi
syarat koalisi kufur
Bukan berita plesetan. Akronim sesuatu kata yang khas, acap memang
begitulah. Bahkan bahasa Jawa bisa menguraikan nama binatang sesuai
karakternya. Misal, nama binatang kodok, singkatan dari teko-teko ndodok. Memang katak,
setiap datang, atau datang-datang langsung jongkok. Tidak ada aba-aba atau
perintah siapa pun.
Sarung kependekan dari kesasar ning irung. Mau dipakai dari atas kepala, pada umumnya nyasar
ke hidung. Dipakai dari bawah, saat diangkat juga akan meliwati teritorial
hidung. Dikalungkan, dislempangkan, disampirkan di bahu, juga akan menyenggol teritorial
hidung.
Yen mungkur,
isi menjadi kursi. Sepi yen miring,
menjadi piring. Diangkat mboko sitok, maksudnya kaki diangkat satu persatu sat
pakai celana atau katok. Kalau duduk, celana bisa dipakai atau dilepas kaki
kanan bareng kaki kiri.
Jarwo dosok kata etnis Jawa-Yogyakarta. Melengkapi khazanah guyon parikeno.
Sindiran halus yang tersindir malah terbahak. Seperti stand-up comedy atau
komedi tunggal. Pihak yang dikritik malah cuek bebek. Kebal hukum dan memang
manusia bebal.
Koq belum menyangkut apa itu lema ‘sukur’. Sesekian ini, masih dikenal
sebagai ‘suka kurang’. Kurang banyak, kurang lama. Pokoknya yang serba
enak-enak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar