adab komen dan debat
substansial versi Islam nusantara
Tak sengaja tanpa rekayasa bahwasanya munculnya istilah “debat kusir”,
datang dari ranah Minang. Melibatkan tokoh KH Agus Salim. Pihak lain, tentunya
tak perlu main tebak adalah sais, kusir, pilot delman.
Lagu anak-anak mempopulerkan “kusir delman” . . . kududuk di muka pak kusir. Diperkuat lagu
“abang becak” . . . kereta tak berkuda. Soal salah ketik, maklum sudah liwat dari masa anak-anak.
Betul apa yang dibisikkan angin lalu. Cerdas diri sebut sebutan ‘Islam
nusantara’. Pahami bahwa yang disebut tadi berlandaskan asas dinamisme dan animism.
Berbasis aliran kepercayaan sebagai paduan kandungan lokal dengan interlokal.
Pasal beda pendapat pada substansi cabang, malah diperdebatkan kian kemari.
Agar tampak berilmu dan hasil makan bangku sekolah. Peserta debat dari aneka ragam
keber-agama-an, dengan deretan gelar akademis melebih panjang nama diri.
Sejarah peradaban nusantara sekedar buka fakta. Pihak yang heboh justru
perang komen antar penggembira. Debat politik bisa mendatangkan ribuan komen. Dari
yang bergaya basa-basi sampai yang full basi.
Mempraktikkan Islam nusantara kudu punya ilmu. Bisa berguru ke internet. Atau
langsung terjun ke palagan aplikasi media sosial dan bentukan lainnya. Bebas berujar.
Umbar ujar bebas.
Selama tahun politik akhir periode 2014-2019, peolok-olok politik naik
daun. Mendapat tempat di tempat penampungan sampah sementara. Bak barang bekas
berkualitas, bak barang buangan siap pakai.
Umumnya, yang muncul adalah
keberlanjut menggunakan otak diri. Apakah itu otak-kanan atau memanfaatkan daya
otak-kiri. Bagaimana dengan otak-besar maupun otak-kecil. Akhirnya karena
tekanan pasar global, wajar jika gunakan otak tetangga. Nggebuk nyewa tangan, tidak masuk
pasal sengketa atau mencemarkan nama baik orang baik.
Jika pemirsa masuk kategori ‘sumbu pendek’, wajar dan begitulah . . . [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar