Jakarta, riwayatmu
sampai jadi laut
Jakarta sudah saatnya dipugar, direnovasi, direvitalisasi atau predikat
semaksud lainnya. Bukan karena faktor ‘U’. Kan sudah ada pulau buatan yang
dalihnya untuk menampung kelebihan penumpang di siang hari, waktu jam kerja
formal.
Menjadi ajang adu gengsi, adu nyali sampai adu prestasi. Karena tidak ada
perang dalam negeri untuk mendongkrak karier. Maka pihak berwajib berwewenang
berhadapan langsung dengan rakyat. Soal ada wakil rakyat 3 (tiga) tingkatan
pemerintahan. Urusan lain. Ditambah wakil daerah, itu soal kursi kekuasaan.
Nasib rakyat selamanya menjadi obyek. Naik kasta, kalau tidak kuat-kuat cuma
jadi pecundang. Makan hati sampai tua. Semangkin cepat melambung, gampang
tumbang. Semangkin tinggi kursi, kalau tidak kokoh bergantung, harus sigap diri
terhadap kawan dalam lipatan.
Nikmat dunia sebagai tolok ukur sukses politik. Dua periode seperti
sebelumnya, masih dirasa langkah minus. Ingat pepatah, keledai mati
meninggalkan peribahasa. Ingat penguasa tunggal Orde Baru yang mampu
membengkokkan sejarah nasional.
Belajar dari sejarah. Agar masuk bursa semacam pahlawan tak dikenal,
pahlawan tanpa tanda jasa. Maka daripada itu, lakukan modus politik yang akan
dikenang.
Jakarta memang alergi air hujan. Jangan sampai masuk tanah. Anti isi ulang
air hujan. Tanpa proses langsung buang ke laut untuk bahan baku air hujan. Sebaliknya.
Biarkan air laut merembes bebas sampai pedalaman. Jakarta siap mengapung. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar