Halaman

Sabtu, 07 September 2019

Jakarta, riwayatmu sampai jadi laut


Jakarta, riwayatmu sampai jadi laut

Jakarta sudah saatnya dipugar, direnovasi, direvitalisasi atau predikat semaksud lainnya. Bukan karena faktor ‘U’. Kan sudah ada pulau buatan yang dalihnya untuk menampung kelebihan penumpang di siang hari, waktu jam kerja formal.

Menjadi ajang adu gengsi, adu nyali sampai adu prestasi. Karena tidak ada perang dalam negeri untuk mendongkrak karier. Maka pihak berwajib berwewenang berhadapan langsung dengan rakyat. Soal ada wakil rakyat 3 (tiga) tingkatan pemerintahan. Urusan lain. Ditambah wakil daerah, itu soal kursi kekuasaan.

Nasib rakyat selamanya menjadi obyek. Naik kasta, kalau tidak kuat-kuat cuma jadi pecundang. Makan hati sampai tua. Semangkin cepat melambung, gampang tumbang. Semangkin tinggi kursi, kalau tidak kokoh bergantung, harus sigap diri terhadap kawan dalam lipatan.

Nikmat dunia sebagai tolok ukur sukses politik. Dua periode seperti sebelumnya, masih dirasa langkah minus. Ingat pepatah, keledai mati meninggalkan peribahasa. Ingat penguasa tunggal Orde Baru yang mampu membengkokkan sejarah nasional.

Belajar dari sejarah. Agar masuk bursa semacam pahlawan tak dikenal, pahlawan tanpa tanda jasa. Maka daripada itu, lakukan modus politik yang akan dikenang.

Jakarta memang alergi air hujan. Jangan sampai masuk tanah. Anti isi ulang air hujan. Tanpa proses langsung buang ke laut untuk bahan baku air hujan. Sebaliknya. Biarkan air laut merembes bebas sampai pedalaman. Jakarta siap mengapung. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar