trilogi ikatan semu koalisi partai politik,
tulus-mulus-fulus
Gabungan partai politik,
yang secara ideologis adalah mustahil, khususnya NKRI sebagai negara
multipartai, namun menjadi syarat baku dalam pelaksanaan pemilihan umum
presiden dan wakil presiden. Syarat jumlah partai di DPR daerah untuk mengusung
pasangan calon yang ikut pilkada, ada batas minimalnya.
Koalisi parpol di pusat,
bisa menjadi musuh bebuyutan atau kalau ada maunya, seolah tampak akur. Di daerah,
koalisi lebih dinamis, luwes dan kondisional. Sampel, terjadinya calon tunggal
di pilkada serentak rabu, 15 Februari 2017. Bahwa bukan kandungan ideologis
saja yang menentukan pencalonan. Kondisi ini bisa sebagai pembeda sekaligus
persamaan dengan daerah yang diwarnai politik dinasti. Ketetapan hati partai di
DPR daerah bisa tergantung kekuatan angin politik dan imajinasi politik.
Bagaimana dengan koalisi
di internal partai politik. Latar belakang dari niat untuk masuk suatu parpol
sangat menentukan ikatan yang terjadi. Pendidikan politik, proses pengkaderan,
sistem rekrutmen menjadi faktor penentu tumbuh kembangnya suatu ikatan di
internal partai.
Jika terjadi dualisme di
sebuah parpol, muncul dua kubu berebut jabatan ketua umum, sebagai pertanda bahwa
kekuasaan menjadi landasan utama pengabdian. Jika tertangkap tangan ada kader
bak kutu loncat. Indikasi bahwa nafsu syahwat politik dominan dan menentukan
olah pikir, gaya ucap dan laku tindak oknum ybs.
Sebetulnya masih banyak
contoh nyata, segar, obyektif yang bukannya mendukung judul, tetapi memperkuat
kesimpulan yang mengerucut ke judul. Pertanyaan sederhanya, mengapa semua itu
bisa terjadi. Ini menjadi PR bersama bagi sisa anak bangsa yang tidak
terkontaminasi kadar politik yang serba téga. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar