parpol Islam, main api vs main mata
Apakah di éra mégatéga, serbatéga, téga-téganya, sebagai efek domino negara multipartai, katanya yang empunya sejarah
reformasi yang diawali dari puncaknya. Target, sasaran dan tujuan besar
reformasi tercapai secara utuh, bulat ketika presiden kedua RI, Jendaral Besar
Suharto, menyatakan diri dirinya mundur dari jabatan presiden.
Efek politiknya, yaitu dengan
serta merta PPP, PDI dan Golongan Karya, secara yakin dan sadar membelah diri. Bebas
dari pingitan, kekangan Orde Baru. Rasionalisasi
parpol di zaman Orde Baru, berlanjut secara informal di era pasca Reformasi.
Mengapa orang begitu téga, ambisius, téndénsius mendirikan partai politik,
tanpa mengukur kapasitas diri. Apa cuma mengandalkan massa loyalis, pengikut
sampai relawan bayaran. Apa cuma menjagakan bisa bangun rumah partai sesuai
syarat. Atau ada faktor terselubung yang tak etis disingkap dan diungkap, walau
sudah terlanjur babak belur dan menjadi bubur. Mengapa manusia politik
Nusantara begitu téga mengkangkangi partai seolah hak
milik pribadi.
Musuh dalam selimut atau tantangan nyata di depan mata parpol Islam hanya
satu, yaitu ketika ulama atau tokoh umat Islam tidak mengurus umatnya, malah
merecoki urusan negara. Urusan negara sebagai fungsi politik, halal dan haram
menjadi satu, hak dan batil berjalan beriringan.
Parpol Islam bisa memiliki misi strategis, melaksanakan agama Islam secara
kontekstual dalam format politik, menjalankan amanah politis dengan fokus
rakyat sejahtera. Dedikasi dan warisan politik parpol Islam tidak sekedar
parpol bebas korupsi, atau bebas tindak pidana lainnya, wajib difahami dan
disemangati sebagai sebuah Amanah Regenerasi. Amanah Regenerasi berangkat dari
makna yang terkandung di (QS An-Nisaa’ [4] : 9) : “Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”
Kinerja dan kiprah parpol Islam
tidak sekedar diukur dalam perolehan jatah kursi di legislatif, eksekutif dan
yudikatif; banyaknya pengurus sampai tingkat kecamatan atau masuk kategori parpol bebas
korupsi, tetapi lebih diukur pada peningkatan rakyat sejahtera. Rakyat atau umat Islam yang
sudah menyiapkan generasi pewaris masa depan.
Sudah bukan jaman. éranya
lagi, terjadi dikotomi Islam Modern dengan Islam Tradisional, Islam Nusantara
dengan Islam Lokal, yang memang sebagai dasar pembentukan parpol Islam. Parpol
Islam jangan terjebak pada format politik nasional yang bersifat fluktuatif
serta rentan terhadap intervensi kepentingan global.
Ketika merah sang Merah-Putih semakin merah, parpol Islam bukan
mengantisipasi atau mengambil langkah proaktif secara nyata, terukur dan
menerus. Usai pilkada serentak 15 Februari 2017, sebagai barometer bentuk
perstua dan kesatuan antar parpol Islam. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar