Halaman

Jumat, 10 Februari 2017

efek domino revolusi mental, Merah sang Merah-Putih semakin merah


efek domino revolusi mental, Merah sang Merah-Putih semakin merah

Ironis binti tragis binti miris, selain terkesima, perpana, terpesona, takjub, terbengong-bengong dan tumpukan rasa bangga lainnya atas jasa, jerih payah, perjuangan maupun pengorbanan nenek moyangnya demi terwujud dan tegaknya NKRI, yang seharusnya dapat meneladaninya, malah bengong terus-menerus bak macan ompong.

Salah satu karakter watak anak bangsa adalah tak kuat disanjung, semakin disanjung semakin melambung. Senang diangkat-angkat. Gemar dipuja-puja. Bangga kalau dikultuskan. Apalagi kalau mendapat julukan, terlebih mendapat gelar kehormatan. Semakin merasa di atas angin. Angan-angannya semakin mengangkasa. Merasa kalau kekuasaan dapat diwariskan ke anak keturunan.

Menurut pengamat, selain watak dasar anak bangsa yang menggilai kejayaan masa lampau, ada yang tergila-gila dengan klenik, ramalan nasib, takhayul (sampai memelihara tuyul) dan benda keramat atau percaya ke hal-hal yang serba mustahil, musykil tapi diyakini mujarab, manjur, cespleng.

Tepatnya, untuk menjaga, memperoleh kepercayaan rakyat, ada yang melakukan kunjungan muhibah, menyambung perkawanan dengan negara paling bersahabat. Melaksanakan kunjungan perlawatan kenegaraan ke kawan partai di negeri orang yang pernah datang berkunjung ke Nusantara. Dengan riang ada yang berlenso dansa ria dengan kawan ketua partai negara tuan rumah.

Pasca bergulirnya reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, banyak kejadian aneh binti ajaib. Tepatnya, ada gerakan formal nasional ingin melupakan sejarah. Keledai saja tak mau terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Apakah bangsa kita mau ditikam dari belakang untuk ketiga kalinya oleh pihak yang sama. Atau malah bangga menyediakan kepala untuk jadi keset bangsa lain.

Bermodal dalil, pasal mencari dewa penyelamat ke negara yang banyak dewanya. Hasilnya, jika sang dewa penyelamat datang, akan disambut dengan gelaran karpet merah, di istana negara bahkan. Kawan lainnya, masuklah yang serba asing, aneh, ajaib. Tahu-tahu sudah bercokol di sudut, pojok pelosok Nusantara. Bilamana dipandang pelu untuk memghormati tamu agung, akan disediakan pulau khusus. Atau dibangun daratan buatan, semacam reklamasi.

Modus operandi memerahkan sang Merah-Putih, semakin nyata di periode 2014-2019. Gerakan pengayom asas koléktivisme, sesuai sinyelemen, indikasi “lahan dikuasai korporasi”. Adalah presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kepemilikan lahan di Indonesia dikuasai orang-orang kaya dan korporasi. Jokowi ingin ada sistem pajak berkeadilan supaya rakyat kecl bisa memiliki akses perhadap kepepilikan lahan. (sumber : Republika, Rabu, 8 Februari 2017, halaman 14). [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar