efek domino revolusi mental, Merah sang Merah-Putih semakin merah
Ironis binti tragis binti miris, selain
terkesima, perpana, terpesona, takjub, terbengong-bengong dan tumpukan rasa
bangga lainnya atas jasa, jerih payah, perjuangan maupun pengorbanan nenek moyangnya
demi terwujud dan tegaknya NKRI, yang seharusnya dapat meneladaninya, malah
bengong terus-menerus bak macan ompong.
Salah satu karakter watak anak bangsa
adalah tak kuat disanjung, semakin disanjung semakin melambung. Senang
diangkat-angkat. Gemar dipuja-puja. Bangga kalau dikultuskan. Apalagi kalau
mendapat julukan, terlebih mendapat gelar kehormatan. Semakin merasa di atas
angin. Angan-angannya semakin mengangkasa. Merasa kalau kekuasaan dapat
diwariskan ke anak keturunan.
Menurut pengamat, selain watak dasar
anak bangsa yang menggilai kejayaan masa lampau, ada yang tergila-gila dengan
klenik, ramalan nasib, takhayul (sampai memelihara tuyul) dan benda keramat
atau percaya ke hal-hal yang serba mustahil, musykil tapi diyakini mujarab,
manjur, cespleng.
Tepatnya, untuk menjaga, memperoleh
kepercayaan rakyat, ada yang melakukan kunjungan muhibah, menyambung perkawanan
dengan negara paling bersahabat. Melaksanakan kunjungan perlawatan kenegaraan
ke kawan partai di negeri orang yang pernah datang berkunjung ke Nusantara. Dengan
riang ada yang berlenso dansa ria dengan kawan ketua partai negara tuan rumah.
Pasca bergulirnya reformasi yang
dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, banyak kejadian aneh binti ajaib.
Tepatnya, ada gerakan formal nasional ingin melupakan sejarah. Keledai saja tak
mau terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Apakah bangsa kita mau
ditikam dari belakang untuk ketiga kalinya oleh pihak yang sama. Atau malah
bangga menyediakan kepala untuk jadi keset bangsa lain.
Bermodal dalil, pasal mencari dewa
penyelamat ke negara yang banyak dewanya. Hasilnya, jika sang dewa penyelamat
datang, akan disambut dengan gelaran karpet merah, di istana negara bahkan. Kawan
lainnya, masuklah yang serba asing, aneh, ajaib. Tahu-tahu sudah bercokol di
sudut, pojok pelosok Nusantara. Bilamana dipandang pelu untuk memghormati tamu
agung, akan disediakan pulau khusus. Atau dibangun daratan buatan, semacam
reklamasi.
Modus operandi memerahkan sang
Merah-Putih, semakin nyata di periode 2014-2019. Gerakan pengayom asas koléktivisme, sesuai sinyelemen,
indikasi “lahan dikuasai korporasi”. Adalah presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan
kepemilikan lahan di Indonesia dikuasai orang-orang kaya dan korporasi. Jokowi ingin
ada sistem pajak berkeadilan supaya rakyat kecl bisa memiliki akses perhadap
kepepilikan lahan. (sumber :
Republika, Rabu, 8 Februari 2017, halaman 14). [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar