Gejolak Cabai Rawit Berbanding Terbalik Dengan Kebijakan Pemerintah Yang
Dadakan
Betul kata pepatah bahwa
orang tergelincir oleh batu kecil, bukan oleh batu besar. Cabai rawit, bukan
karena bentuk, ukuran, volume maupun
kepadatannya yang mampu menggoyang lidah atau terjadi selip lidah, justru pada
rasanya. Cita rasa cabai. Tak heran jika pemerintah acap salah langkah atau
mati langkah saat mengendalikian pasokan dan harga cabai rawit. Jangan dikata
lagi jika koalisi bumbu dapur lainnya yaitu bawang merah dan garam ikut buka
suara.
Di atas kertas, kiat
pemerintah mewujudkan kemandirian ekonomi serasa tidak ada kurangnya. Bisa dilaksanakan
dengan tepat guna dan hasil guna selama periode 2014-2019. Pelaksanaannya bersifat
dinamis, karena gejolak pasar diluar prediksi pemerintah. Di bidang politikpun
terjadi kondisi di luar nalar, logika, akal pemerintah, ketika terjadi calon
tunggal di pilkada serentak. Kebijakan yang digulirkan hanya bersifat bak obat
penenang masa. Banyak ahli, relawan yang bisa mengalihkan isu faktual dan aktual
ke isu lain yang lebih nasionalis dan berjiwa kebangsaan serta dilandasi
semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Jangankan pemerintah
sampai pemerintah kabupaten/kota, wakil rakyat merasa turun wibawa jika
berbasah tangan mengurusi cabai rawit. Partai penguasapun merasa bukan
wewenangnya untuk urun rembug soal cabai rawit, itu urusan rakyat jelata,
rakyat papan bawah yang masih doyan nasi. Urusan yang punya perut.
Lain soal jika ada pihak
yang sengaja merongrong wibawa negara, maka akan serta merta, otomatis banyak
pihak siap pasang badan. Mulai aparat keamanan negara yang over energi sampai
kawanan partai penguasa siap berjibaku.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar