Halaman

Sabtu, 11 Februari 2017

nabok nyilih tangan vs mikir nyilih utek



nabok nyilih tangan vs mikir nyilih utek

Apapun kejadian yang seolah secara norma ‘wajib’ dihindari, bukan sekedar tidak masuk akal, bukan sekedar karena ora ilok, malah bisa terjadi secara nyata, terukur dan menerus di panggung politik.

Kamus bahasa Jawa paribasan yang mungkin sejauh ini sudah menerakan “nabok nyilih tangan”, saat itu baru berifat tunggal. Artinya, cuma hanya itu faktanya. Perkembangan peradaban ideologi, paribasan tadi mengalami proses pengkayaan. Mengikuti peran dan fungsi anggota badan atau komponen jiwa raga manusia.

Pemerintah menganjurkan agar rakyat mengutamakan produk pangan dalam negeri. Mulai makanan utama sampai lauk pauk. Pemerintah kewalahan memenuhi isi perut rakyat yang populasinya ratusan juta jiwa. Kondisi ini menyuburkan ekonomi investasi yang menguasai panggilan dan kebutuhan perut rakyat.

Cabai rawit, bawang merah, garam menjadikan pemerintah bersegera mengimpor dari negara lain. Agar selera dan lidah rakyat terjaga kestabilannya.

Sekarang ada alat resmi, formal, sah, bahkan konstitusional atau dilindungi undang-undang  untuk mempraktikkan “nabok nyilih tangan”. Jangan lupa kawan, ini jadi hak pilik penguasa maupun pengusaha. Tenar dengan sebutan beking, deking di era Orde Baru.

Terinspirasi oleh kampanye presiden AS, yang mendaur ulang jargon, semboyan presiden sebelumnya, maka di era rezim 2014-2019 muncul manusia Indonesia berorasi, berkoar, jual suara dengan wajah menghiba-hiba dan roman pengharu-rasa. Intinya, karena kehabisan akal, akhirnya dengan bebas menyadur pendapat orang lain. Semacam plagiator. 

Ketimbang mikir kesuwèn, selak sing arep ngrungokaké kebelet ngising, gampangané copas pikiran liyan. Èntèng. Piyé mbokdé. Ayo keplok. Nèk ora gelem tak keplak.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar