nabok nyilih tangan vs
mikir nyilih utek
Apapun kejadian yang seolah secara norma ‘wajib’ dihindari, bukan sekedar
tidak masuk akal, bukan sekedar karena ora
ilok, malah bisa terjadi secara nyata, terukur dan menerus di panggung
politik.
Kamus bahasa Jawa paribasan yang mungkin sejauh ini sudah menerakan “nabok nyilih tangan”, saat itu baru berifat tunggal.
Artinya, cuma hanya itu faktanya. Perkembangan peradaban ideologi, paribasan
tadi mengalami proses pengkayaan. Mengikuti peran dan fungsi anggota badan atau
komponen jiwa raga manusia.
Pemerintah menganjurkan agar rakyat mengutamakan produk pangan dalam
negeri. Mulai makanan utama sampai lauk pauk. Pemerintah kewalahan memenuhi isi
perut rakyat yang populasinya ratusan juta jiwa. Kondisi ini menyuburkan
ekonomi investasi yang menguasai panggilan dan kebutuhan perut rakyat.
Cabai rawit, bawang merah, garam menjadikan pemerintah bersegera mengimpor
dari negara lain. Agar selera dan lidah rakyat terjaga kestabilannya.
Sekarang ada alat resmi, formal, sah, bahkan konstitusional atau dilindungi
undang-undang untuk mempraktikkan “nabok nyilih tangan”. Jangan lupa kawan, ini jadi
hak pilik penguasa maupun pengusaha. Tenar dengan sebutan beking, deking di era Orde Baru.
Terinspirasi oleh kampanye presiden AS, yang mendaur ulang jargon, semboyan
presiden sebelumnya, maka di era rezim 2014-2019 muncul manusia Indonesia
berorasi, berkoar, jual suara dengan wajah menghiba-hiba dan roman
pengharu-rasa. Intinya, karena kehabisan akal, akhirnya dengan bebas menyadur
pendapat orang lain. Semacam plagiator.
Ketimbang mikir kesuwèn, selak sing arep ngrungokaké kebelet ngising, gampangané copas pikiran liyan. Èntèng. Piyé mbokdé.
Ayo keplok. Nèk ora gelem tak keplak.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar