trilogi evolusi mukiyo, sengit ndulit
vs gething nyanding vs poyok mondok
Konon, miturut ngudal piwulang ki dalang
Sobopawon, pihak yang berhasil menang dalam pileg dan pilpres,
bagaikan merebut kekuasaan dari tangan penjajah. Mereka tak rela kalau lawan
politik kebagian kursi kekuasaan yang sama, terlebih malah duduk di kursi
ketua. Pemenang merasa mempunyai wewenang menentukan komposisi piminan DPR.
Jabatan ketua DPR otomatis jatah dan haknya.
Modus operandi
parpol penguasa menghadapi lawan politik, melebihi daya juang Densus 88 mengantisipasi
gerakan calon teroris, mematikan langkah cikal bakal teroris yang teredus
lokasi dan jati dirinya. Persamaannya? Pihak yang bersangkutan saja tidak
pernah tahu.
Penggemar santapan
pedas, walau sampai perut terkuras akibat mulas. Nanti saatnya makan
berikutnya, tetap pilih lauk atau menu yang aneka pedas. Ini namanya kapok lombok. KB (keluarga berencana)
menyisakan fakta, betapa seorang ibu merasakan perjuangan melahirkan, tercetus
niat mau berhenti. Namun, beberapa tahun kemudian melakukan hal yang sama.
Proklamator, bung
Karno dan bung Hatta, dikenal sebagai dwitunggal, perjalanan ideologi
menyebabkan mereka pecah kongsi. Namun tetap bersahabat.
Belum berkongsi
pun, banyak pasangan bakal calon, koalisi semu, relasi sesama kandidat, sesama
relawan sudah pecah kongsi. Sibuk
menimang-nimang namun belum meminang, bahkan belum punya calon pasangan.
Tidak ada yang
mustahil dalam kamus politik. Bisa terjadi kejadian seperti orang menang lotere
atau undian berhadiah. Bisa juga kejadian tak terduga lainnya. Tetap terjadi
hukum sebab akibat atau hukum berbanding lurus dan atau hukum berbanding
terbalik.
Bahasa politik
Nasional yang merupakan produk turunan sistem feodal, menghalalkan bahwa
kekuasaan bisa diwariskan. Minimal berusaha agar kekusaan yang sedang di tangan
nantinya jangan jatuh ke pihak lain yang tak jelas riwayatnya. Terlebih jangan
sampai direbut oleh lawan politik di depan mata. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar