Halaman

Jumat, 03 Februari 2017

laku korupsi, kuwalat marga ora kuwat semat



laku korupsi, kuwalat margA ora kuwat semat

Aneh tapi nyata, hanya bisa terjadi di Indonesia. Penyelenggara negara atau pejabat, misal di daerah, yang jabatannya diperoleh lewat pilkada, bisa tidak tergoda untuk melakukan korupsi. Bukan karena kuat iman secara religi, atau kuwat semat secara filasafah atau adat Jawa. Tapi lebih dikarenakan ada pesan sponsor yang menggoalkan ybs bisa jadi kepala daerah. Pesannya macam-macam, disesuaikan dengan kapasitas wewenang setalah jadi kepala daerah.

Bentuk lainnya, bisa tanpa sponsor, tanpa bandar politik. Setelah menjabat bisa melakukan rangkaian tata niaga jual beli pasal, transaksi kekuasaan dan wewenang, barter politik, main mata dengan pengusaha atau modus operandi senyap lainnya. Kesemuanya ini, menurut peribahasa Jawa adalah “asu gedhé menang kerahé”. Mungkin laku ini aman dari OTT KPK.

Siapa saja pelaku tindak pidana korupsi. Uang recehan yang digaet, bak pungli  atau sampai sekali korup 2-3 keturunan “tercukupi dengan uang haram”. Pelaku korup atau koruptor, bukan anak kemarin sore, bukan anak bawang. Tentunya orang yang mempunyai jabatan dan pangkat. Bukannya orang yang tidak pernah makan bangku sekolah. Minimal lulus ‘kejar paket’, walau hanya untuk label etiket atau syarat administrasi. Bukan pula orang miskin.

Jabatan ada batasnya, termasuk jabatan karir. Apakah dalam bentuk periode waktu, sesuai aturan RPM (rotasi, promosi, mutasi), sampai pensiun atau ada pasal, faktor dan kemungkinan lainnya.

Status sebagai rakyat, abdi, kawula tetap menerus sampai akhir hayat. Masih ingat lakon Petruk Dadi Ratu, ada ungkapan Jawa : “Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates(rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk.

Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-pétung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi, kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk. (“Falsafah Kepemimpinan Jawa, Sepanjang Jaman”,Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., FBS Universitas Negeri Yogyakarta, 2013).

Jadi, bukan salah bunda mengandung kalau masih terjadi anak orang berlaku korupsi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar