polisi Jawa ala Jokowi, ngayomi apa ngacungi antem
Kalau wong Jawa, semisal presiden NKRI sekarang,
Joko Widodo, diacungi tangan mengepal, maknanya tergantung posisinya. Kalau kepalan
tangan setinggi bahu, digoyangkan, semangat, sambil berujar : “yès” berarti yang empunya
tangan mengajak Jokowi sama-sama sepakat, saling setuju. Seperti salam komando.
Lanjut jabat tangan macam mau adu pancho.
Kalau yang datang, mata melotot, mengacungkan
kepalan tangan, bisa diartikan sebagai mau ajak adu jotos, adu bogem mentah. Apalagi
disertai ujaran kebencian, makian, keluar kata tak senonoh. Minimal diartikan
sebagai ancaman. Mengacungi tinju, sebagai bahasa tubuh, bahwa ybs sedang
mengancam, mengintimidasi tanpa kata.
Ada perbedaan, saat ahli cuap sedang berorasi
berhiba-hiba, merasa yakin drinya bisa jadi presiden yang baik dan benar. Tak ayal
loyalisnya, penggembira, tukang keplok, juru sorak, bonek, bolo dupak, berteriak
girang sambil mengacungkan tinju ke udara, ke langit. Entah siapa yang diteriaki.
Entah siapa yang ditantang.
Ternyata dan memang ada lagu “acungkan tinju
kita”. Marak saat bebaskan Irian atau ganyang Malaysia. Bukan masalah maknawi “acungkan
tinju”, tetapi oleh siapa pelakunya dan ditujukan kepada siapa. Kalau orangtua
mengangkat telunjuknya kepada anaknya, sebagai sinyal, pertanda sedang
mengingatkan.
Salah satu kemanfaatan polisi sebagai alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan adalah watak pengayom. Praktiknya, apa kata dunia. Bagi pihak yang mampu “merangkul”
polisi sebagai mitra, akan mendapat pengayoman 24 jam. Bagi pihak yang jauh
kepentingan, atau bahkan berseberangan, bisa-bisa bisa cuma kebagian “acungan
tinju”.
Kita tidak tahu berapa ratio ideal jumlah
polisi dibanding populasi penduduk NKRI. Polisi bukannya tak mau proaktif. Kalau
dekat dengan rakyat takut malah dikira menakut-nakuti. Apalagi datang bak gelar
pasukan. Bisa multitafsir. Rakyat sudah faham akan “peluit sakti” poltas. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar