Polisi Mengulang Sejarah Merah Nusantara
Sejarah
seolah selalu berulang, khususnya pada substansi, muatan maupun kejadian dan
peristiwanya. Beda hanya pada pelaku. Kendati pelaku lama berpeluang muncul
kembali. Atau telah terjadi kaderisasi. Perjuangan ideologi dan politik memang tak
ada matinya. Kendati secara yuridis formal sudah dilarang, dibekukan namun
dalam praktik tetap ada dalam format dan bentuk menyesuaikan zaman.
Berbagai
tindakan yang dialami ulama, sejak zaman penjajahan Belanda, seolah tak ada habisnya.
Minimal adalah mengkerdilkan peran ulama, membatasi ruang gerak ulama sampai
membungkam daya juang ulama untuk selama-lamanya.
Alasan yang
dipakai sesuai zamannya. Mulai dari peran ulama yang mampu membangkitkan
semangat merdeka, sehingga ulama menjadi obyek kebijakan pemerintah penjajah. Zaman
Orde Lama, asas Nasakom yang memberi peluang pemberontakan, makar, kudeta PKI
sampai dua kali. 1948 dan 1985. Ulama nyaris dihilangkan dari peta NKRI. Zaman
Orde Baru, demi kestabilan politik, keutuhan negara, wibawa pemerintah, dsb,
tak ayal posisi ulama menjadi rawan. Tak ada pasal yang memihak
eksistensi ulama. Ketika itu alat negara pertahanan dan keamanan masih jadi
satu markas, yaitu ABRI. Geliat rakyat yang dianggap ulama sebagai dalangnya,
akan menjadi proyek perang.
Di era reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21
Mei 1998, banyak kejadian aneh, asing, ajaib yang terjadi. Mulai gerakan rékonsiliasi untuk memulihkan martabat negara sponsor dua
kali makar, kudeta, pemberontakan PKI sampai masyarakat majemuk, multikultur
dan serba multi. Sistem pendekatan keamanan malah melahirkan semacam garis
demarkasi antara pemerintah atau umara dengan ulama. Polisi yang sarat dengan
tugas dan wewenangnya, karena politik transaksional, malah menjadi alat
penguasa. Tindakan polisi, melebih panggilan tugas, bisa merupakan akumulasi
berulangnya sejarah sebelumnya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar