Halaman

Senin, 13 Februari 2017

Polisi Mengulang Sejarah Merah Nusantara



Polisi Mengulang Sejarah Merah Nusantara

Sejarah seolah selalu berulang, khususnya pada substansi, muatan maupun kejadian dan peristiwanya. Beda hanya pada pelaku. Kendati pelaku lama berpeluang muncul kembali. Atau telah terjadi kaderisasi. Perjuangan ideologi dan politik memang tak ada matinya. Kendati secara yuridis formal sudah dilarang, dibekukan namun dalam praktik tetap ada dalam format dan bentuk menyesuaikan zaman.

Berbagai tindakan yang dialami ulama, sejak zaman penjajahan Belanda, seolah tak ada habisnya. Minimal adalah mengkerdilkan peran ulama, membatasi ruang gerak ulama sampai membungkam daya juang ulama untuk selama-lamanya.

Alasan yang dipakai sesuai zamannya. Mulai dari peran ulama yang mampu membangkitkan semangat merdeka, sehingga ulama menjadi obyek kebijakan pemerintah penjajah. Zaman Orde Lama, asas Nasakom yang memberi peluang pemberontakan, makar, kudeta PKI sampai dua kali. 1948 dan 1985. Ulama nyaris dihilangkan dari peta NKRI. Zaman Orde Baru, demi kestabilan politik, keutuhan negara, wibawa pemerintah, dsb, tak ayal posisi ulama menjadi rawan. Tak ada pasal yang memihak eksistensi ulama. Ketika itu alat negara pertahanan dan keamanan masih jadi satu markas, yaitu ABRI. Geliat rakyat yang dianggap ulama sebagai dalangnya, akan menjadi proyek perang.

Di era reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998, banyak kejadian aneh, asing, ajaib yang terjadi. Mulai gerakan rékonsiliasi untuk memulihkan martabat negara sponsor dua kali makar, kudeta, pemberontakan PKI sampai masyarakat majemuk, multikultur dan serba multi. Sistem pendekatan keamanan malah melahirkan semacam garis demarkasi antara pemerintah atau umara dengan ulama. Polisi yang sarat dengan tugas dan wewenangnya, karena politik transaksional, malah menjadi alat penguasa. Tindakan polisi, melebih panggilan tugas, bisa merupakan akumulasi berulangnya sejarah sebelumnya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar