Dibalik Rokok Terjadi Proses Pemiskinan
Kalau kita telusuri tata niaga tembakau, dari hulu sampai
hilir, ternyata banyak fakta yang didapat dari hasil kesimpulan. Secara umum,
jika ada perkebunan yang merupakan kelanjutan dari zaman kolonial penjajahan, ada
indikasi terjadi kemiskinan yang menimpa penduduk. Tenaga penduduk sebagai
modal perusahaan dengan nilai bayar mau tak mau harus menerima. Tidak terjadi
sistem bagi hasil.
Beda dengan nasib buruh tani yang menggarap sawah milik
orang lain. Ada sistem bagi hasil. Idealnya, setelah panen padi laku terjual,
bagi hasil dengan sistem sepertiga. Sepertiga untuk yang punya sawah, sepertiga
untuk buruh tani, sepertiga untuk beli bibit, pupuk dan biaya tak terduga tapi
bisa diantisipasi.
Kebijakan pemerintah tentang rokok, secara historis dengan
berbagai pasal, dalih tentu akan mendukuhg usaha industri rokok. Memberi lapangan
pekerjaan dan menyerap tenaga kerja lokal, kontribusi perusahan melalui program
CSR, sebagai wajib pajak. Tak kurang
promo segudang manfaat bagi tanah air.
Permasalahan mulai muncul bersamaan kepulan pertama asap
rokok. Hubungan antara perokok aktif dengan lingkungan, khususnya perokok pasif
bisa menimbulkan friksi berkelanjutan. Masalah kesehatan dan kejiwaan perokok
aktif. Indonesia memasuki fenomena usia perokok pemula semakin muda sampai
populasi perokok aktif bisa melampaui
populasi penduduk negara tetangga.
Akumulasi dampak negatif, efek domino
walau sesuai asas HAM perokok aktif, tidak hanya menjadi
beban bagi ybs, keluarga sampai lingkungan. Fakta populasi perokok aktif tiap
tahun bertambah jumlah, menjadi alasan pemerintah untuk memfasilitasinya. Kendati
ada kebijakan pemerintah untuk menciutkan serta menyaring jumlah perokok aktif
dengan menaikkan harga eceran tertinggi rokok, tetap tak ampuh. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar