semoga
panjang umur dan lapang kubur
Rakyat tak layak, bahkan tak berhak mempunyai
asas praduga ada ‘udang di balik batu’ atas kebijakan Polda Jatim untuk mendata
ulama dan kiai. Angan-angan mulianya sangat sederhana, yaitu jika nantinya
Polda Jatim punya hajatan, para ulama dan kiai dapat diundang dan diharapkan
bisa hadir tanpa diwakili dan khususnya jangan membawa jamaahnya. Terkait
dengan budget akomodasi, konsumsi, uang rokok, uang bensin, uang lelah, uang
lembur, dsb. Itu saja. Secara bahasa politis, agar ulama dan kiai mudah diajak
komunikasi, koordinasi, kompromi.
Tersedia fasilitas antar jemput tanpa unsur
paksaan. Keamanan selama perjalanan, di tempat kejadian acara dijamin luar
dalam. Polda Jatim sudah punya sistem pengamanan dan modus operandinya. Sekali
acara, bisa menghasilkan berbagai sub-acara. Apakah kedua belah pihak “bonek”
atau kubu yang selama ini saling berseteru bebuyutan, akan dipertemukan di
lokasi yang sama, itu hanya kesalahan adminisrasi dan prosedur baku.
Patut diingat, populasi Jawa Timur nomor dua
terpadat di NKRI, berdampak pada beban psikologis bagi polisi untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri.
Jangan lupa, pihak Polda Jatim bisa menjual
undangan VIP dan yang diatasnya, tentu dengan tarif. Terlebih pada peringatan
Hari Bhayangkara setiap 1 Juli. Agar ulama dan kiai berpartisipasi aktif dan
nyata. Di undangan juga dicatumkan busana yang harus dipakai. Antisipasi kalau
terjadi sesuatu di luar skenario, jangan sampai jadi salah sasaran atau korban
yang diinginkan. Agar Polda Jatim sejak dini bisa mengendalikan situasi
seoptimal mungkin.
Pihak Polda Jatim tidak nenerima kado dalam
bentuk apapun. Setiap tamu, khususnya ulama dan kiai, wajib isi buku tamu, isi
“kotak amal” dan foto bareng sebagai bukti kehadiran. Sebelum acara selesai,
para tamu dilarang meninggalkan tempat duduknya atau lokasi acara. Tentunya,
jangan datang terlambat. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar